28 Desember 2011
Rapat
Setiap ada undangan rapat, saya merasa malas untuk menghadirinya. Mengapa? Setiap kali menghadiri undangan rapat, biasanya, dan hal ini berkali-kali saya alami, saya hanya mendengar orang mengeluh. Peserta rapat umumunya menyampaikan keluhan.
Nah, dari keluhan yang satu muncul keluhan yang lain. Keluhan salah seorang peserta rapat memancing gairah peserta yang lain untuk juga mengeluh. Misalnya begini, jika ada salah seorang peserta menyampaikan keluhan tentang kebiasan buruk orang yang suka membuang sampah bukan pada tempatnya, peserta yang lain cenderung menambah persoalan serupa, tentang kebiasaan buruk yang lain. Ia juga menyampaikan keluihan, bukan turut membantu menyelesaikan masalah yang sedang dibicarakan
Dalam rapat, saya berusaha untuk tidak menambah beban kerutan kening peserta rapat. Saya jarang berkomentar untuk hal-hal yang seperti itu. Karena itulah, saya berusaha hanya menyampaikan komentar yang menyengkan, sekurang-kuranganya dapat menetralkan kekalutan air muka para peserta, misalnya dengan ucapan: “Para peserta rapat, nanti kita akan makan siang dengan menu ikan bakar dan nasi rawon.”
Semoga itu menjadi menu untuk rapat mendatang.
20 Desember 2011
Dilarang Parkir
Saat saya hampir mematikan mesin untuk parkir di depan warung rujak itu, si penjual, seorang ibu-ibu, memberi isyarat saya dengan lambaian tangan. Saya paham, isyarat itu merupakan tanda bagi saya agar tidak memarkir kendaraan di depan kedainya, meskipun tidak ada plang “P coret" di sekitar sana. Namun, sebelum dia bicara lebih lanjut, saya mendahuluinya,
“Bu, rujak, satu.” Saya mengacungkan jari telunjuk.
“Bungkus?”
“Tidak, makan di sini.”
Si ibu menghilang dari pandangan, mengaduk kacang dan tentu mengupas mentimun setelah itu. Dia menunaikan tugas untuk satu pesanan rujak, untuk saya. Larangan parkir tidak berlaku lagi.
“Bu, rujak, satu.” Saya mengacungkan jari telunjuk.
“Bungkus?”
“Tidak, makan di sini.”
Si ibu menghilang dari pandangan, mengaduk kacang dan tentu mengupas mentimun setelah itu. Dia menunaikan tugas untuk satu pesanan rujak, untuk saya. Larangan parkir tidak berlaku lagi.
05 Desember 2011
Waktu Indonesia bagian Lenteng
“Rang-terrang tana” (waktu matahari belum terbit tetapi sudah sangat terang); “Manjing dluha” (saat matahari setinggi tombak atau sekitar 15 menit setelah terbit matahari); “Ban-aban laggu” (nah, ini yang tidak jelas, yaitu waktu antara pagi menjelang siang), sama juga dengan penanda waktu “Sar-Ashar mabha” (setelah shalat ashar tetapi sudah agak sore menjelang Maghrib).
Ada pula yang lebih tegas, yaitu penanda waktu berdasarkan waktu shalat, antara lain, bakda Maghrib, bakda Isya’, dan bakda-bakda yang lain. “Bakda” artinya “setelah”. Bakda Maghrib atrinya setelah shalat Maghrib secara sempurna. Penanda waktu seperti ini biasanya digunakan untuk acara tahlilan dan lain sebagainya. Namun, untuk acara walimah/akad nikah, masyarakat menggunakan penanda waktu angka sebagaimana lazimnya, seperti pukul 10.00 WIB, atau pukul 1 siang istiwa’, dan seterusnya.
Molor? Ya, saya sering menghadapi dan mengalami keadaan seperti ini, kecuali untuk acara walimah/akad nikah di daerah Pore dan Cangkreng sekitarnya (kecamatan Lenteng, Sumenep). Saya sangat kagum terhadap komitmen masyarakat di sana terhadap waktu karena nyaris tidak pernah molor dalam menentukan acaranya.
Langganan:
Postingan (Atom)