25 Maret 2014

Persiapan untuk Khusyuk

Ada seorang deklamator yang butuh waktu kira-kira 30 menit ‘puasa bicara’ dan tidak melakukan aktivitas apa pun selain bersiap diri sebelum diberlangsungkannya pementasan. Ini menunjukkan bahwa dia ingin tampil prima, konsetrasi penuh, total, sehingga dengannya ia tidak akan membuat penonton kecewa. Bagi saya, dia itu seorang deklamator yang sangat serius, deklamator beneran. .

Itu ‘hanya’ urusan pentas baca puisi, lho. Nah, bagaimana dengan shalat? Tidak mudah untuk bisa konsentrasi penuh di dalam shalat (khusyuk) karena khusyuk itu adalah tidak ingat apa pun selian Allah. Jika seorang deklamator di atas memerlukan 30 menitan ‘prep’ (-aration) untuk tampil, kiranya kita juga perlu mempersiapkan diri untuk tampil ke dalam shalat. Soal berapa lamanya, itu bergantung kepada orang yang akan melakukannya.

Suatu saat, sebelum  naik ke mushalla untuk shalat ashar, saya menonton sebuah video lucu. Dalam video itu, tampak seorang petani yang bersin secara aneh sebanyak 3 x. Bukannya ingus yang muncrat, melainkan binatang; yang pertama kucing, yang kedua kambing, yang terakhir sapi. Apesnya, ketika itu saya juga sedang terkena flu. Puncaknya,  berdiri untuk rakaat ketiga (saat itu saya menjadi imam), saya mendadak bersin. Sialan, konsentrasi buyar seketika karena saya teringat video tersebut. Hampir saja saya berhenti shalat dan tertawa.

Dari situ, saya lantas teringat kebiasaan sang deklamator di atas. Ah, rupanya, dia itu benar dengan kebiasaannya. Sebaiknya, untuk melakukan sebuah aktivitas yang membutuhkan konsentrasi penuh dan kekhusyukan, kita memang perlu secara serius pula mempersiapkan diri, baik itu untuk membaca puisi dan terlebih mau shalat.

23 Maret 2014

Buang Air Besar (BAB) dari Masa ke Masa

Saat bertemu dengan Bapak Farid Mustofa, dosen Fak. Filsafat UGM yang baru pulang liburan dari studi pascasarjana-nya di Universitet Leipzig, entah sedang berbicara soal apa, tiba-tiba beliau bercerita, bahwa orang Jerman sangat heran saat melihat  anaknya bisa jongkok.

“Ah, hanya karena bisa jongkok? Apa susahnya?” balas saya.
“Loh, orang sana itu nggak bisa jongkok, lho!”

Percaya setengah percaya, akhirnya saya ingat, mungkin itulah sebabnya  mengapa jamban di sana  menganut kloset model duduk.

Tidak perlu jauh-jauh ke Eropa, di sekitar kita, saat ini, mudah dijumpai kloset duduk macam itu. Bedanya, kloset-kloset di ‘sana’ lebih sadis karena tidak ada bak air-nya. Boro-boro bak air dan gayung, yang ada hanya wastafel dan tisu gulung. Sementara di sini, terutama di rumah kawan saya yang tinggal di kota atau saat nginap di hotel, saya perhatikan, kloset duduk umumnya masih tetap menggunakan air untuk membersihkan berak (bersuci). Bedanya, meskipun kloset duduk sudah dapat juga dijumpai di desa-desa, air untuk bersucinya menggunakan bak yang memuat air 2 kulah, berbeda dengan kloset duduk di kota/hotel/bandara yang terkadang hanya menggunakan ember atau bak air  kecil. Bagi seorang muslim, terutama Madzhab Syafii, ketersediaan air (minimal 2 kulah) untuk bersuci itu adalah suatu hal yang niscaya.

Rupanya, buang air besar itu sangat beragam. Di masa kecil dulu, anak-anak biasanya buang air besar atau pipis dengan cara sembarangan, terkadang bahkan di halaman. Orangtua mudah membantu untuk melakukan hal itu karena anak-anak dulu tidak menggunakan popok. Cara ini jelas tidak sehat, terbukti bahwa tidak adanya jamban dalam sebuah keluarga dijadikan indikator kemiskinan, pengetahuan rendah terhadap sanitasi. Namun, yang buang popok setiap hari nyatanya juga sangat tidak sehat secara environmental karena ia tidak ramah lingkungan.

Jamban orang dulu, disebut juga kakus, sebelum adanya water closet (WC) hanya menggunakan lubang kecil di permukaan yang langsung ke lubang besar di dalam. Permukaannya hanya ditutup papan sebilah, atau sejenisnya. Soal bau, ya, jelas saja kakus model begitu mudah mengumbar.

Pada masyarakat tertentu, di pesisir misalnya, ada keluarga yang memang tidak memiliki jamban karena mereka buang air besar di tepi laut. Air pasanglah yang akan menghilangkan jejak berak mereka. Sementara penduduk di sekitar bantaran sungai memanfaatkan aliran  sebagai tempat buang air, baik dengan metode kakus 'terjun bebas' atau pula gaya ekstrem, yaitu  duduk di batu sungai dengan cara menenggelamkan separuh pantat ke dalam air. Menggunakan celana akan repot kalau seperti ini cara buang airnya. Menggunakan sarung tetap lebih mudah dan jadi pilihan utama.

Saat ini, kakus duduk mulai banyak digunakan orang, termasuk mereka yang tinggal di desa. Meskipun awalnya mereka tidak terbiasa karena—konon—duduk langsung ke kloset itu berasa geli dan dianggap jijik. Orang desa yang beruang biasanya punya dua model, yakni kloset duduk dan kloset jongkok. Kloset duduk, salah satunya, barangkali dipersiapkan untuk tamu kota atau tamu luar negeri yang tidak bisa berjongkok itu.

Akan tetapi, akhir-akhir ini ada sebuah penelitian yang menyatakan bahwa buang air dengan cara berjongkok merupakan cara terbaik dan paling sehat dalam proses bertandas. Entah benar entah tidak, penelitian ini harus dibantah secara ilmiah lebih dulu untuk tidak disetujui hingga nanti ditemukan   keputusan ilmiah yang lebih baru dalam hal perkakusan dan gaya buang air besar itu, baik soal gaya jongkok, gaya duduk, atau bahkan gaya lainnya.

Demikianlah perkembangan buang air besar dari masa ke masa.

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog