Saat bertemu dengan Bapak Farid Mustofa, dosen Fak. Filsafat UGM yang baru pulang liburan dari studi pascasarjana-nya di Universitet Leipzig, entah sedang berbicara soal apa, tiba-tiba beliau bercerita, bahwa orang Jerman sangat heran saat melihat anaknya bisa jongkok.
“Ah, hanya karena bisa jongkok? Apa susahnya?” balas saya.
“Loh, orang sana itu nggak bisa jongkok, lho!”
Percaya setengah percaya, akhirnya saya ingat, mungkin itulah sebabnya mengapa jamban di sana menganut kloset model duduk.
Tidak perlu jauh-jauh ke Eropa, di sekitar kita, saat ini, mudah dijumpai kloset duduk macam itu. Bedanya, kloset-kloset di ‘sana’ lebih sadis karena tidak ada bak air-nya. Boro-boro bak air dan gayung, yang ada hanya wastafel dan tisu gulung. Sementara di sini, terutama di rumah kawan saya yang tinggal di kota atau saat nginap di hotel, saya perhatikan, kloset duduk umumnya masih tetap menggunakan air untuk membersihkan berak (bersuci). Bedanya, meskipun kloset duduk sudah dapat juga dijumpai di desa-desa, air untuk bersucinya menggunakan bak yang memuat air 2 kulah, berbeda dengan kloset duduk di kota/hotel/bandara yang terkadang hanya menggunakan ember atau bak air kecil. Bagi seorang muslim, terutama Madzhab Syafii, ketersediaan air (minimal 2 kulah) untuk bersuci itu adalah suatu hal yang niscaya.
Rupanya, buang air besar itu sangat beragam. Di masa kecil dulu, anak-anak biasanya buang air besar atau pipis dengan cara sembarangan, terkadang bahkan di halaman. Orangtua mudah membantu untuk melakukan hal itu karena anak-anak dulu tidak menggunakan popok. Cara ini jelas tidak sehat, terbukti bahwa tidak adanya jamban dalam sebuah keluarga dijadikan indikator kemiskinan, pengetahuan rendah terhadap sanitasi. Namun, yang buang popok setiap hari nyatanya juga sangat tidak sehat secara environmental karena ia tidak ramah lingkungan.
Jamban orang dulu, disebut juga kakus, sebelum adanya water closet (WC) hanya menggunakan lubang kecil di permukaan yang langsung ke lubang besar di dalam. Permukaannya hanya ditutup papan sebilah, atau sejenisnya. Soal bau, ya, jelas saja kakus model begitu mudah mengumbar.
Pada masyarakat tertentu, di pesisir misalnya, ada keluarga yang memang tidak memiliki jamban karena mereka buang air besar di tepi laut. Air pasanglah yang akan menghilangkan jejak berak mereka. Sementara penduduk di sekitar bantaran sungai memanfaatkan aliran sebagai tempat buang air, baik dengan metode kakus 'terjun bebas' atau pula gaya ekstrem, yaitu duduk di batu sungai dengan cara menenggelamkan separuh pantat ke dalam air. Menggunakan celana akan repot kalau seperti ini cara buang airnya. Menggunakan sarung tetap lebih mudah dan jadi pilihan utama.
Saat ini, kakus duduk mulai banyak digunakan orang, termasuk mereka yang tinggal di desa. Meskipun awalnya mereka tidak terbiasa karena—konon—duduk langsung ke kloset itu berasa geli dan dianggap jijik. Orang desa yang beruang biasanya punya dua model, yakni kloset duduk dan kloset jongkok. Kloset duduk, salah satunya, barangkali dipersiapkan untuk tamu kota atau tamu luar negeri yang tidak bisa berjongkok itu.
Akan tetapi, akhir-akhir ini ada sebuah penelitian yang menyatakan bahwa buang air dengan cara berjongkok merupakan cara terbaik dan paling sehat dalam proses bertandas. Entah benar entah tidak, penelitian ini harus dibantah secara ilmiah lebih dulu untuk tidak disetujui hingga nanti ditemukan keputusan ilmiah yang lebih baru dalam hal perkakusan dan gaya buang air besar itu, baik soal gaya jongkok, gaya duduk, atau bahkan gaya lainnya.
Demikianlah perkembangan buang air besar dari masa ke masa.