21 Desember 2017

Dualisme "Rasa Memiliki" dan Persoalannya

Ada dua sisi "rasa memiliki": rendah dan tinggi. Adapun posisi tengahnya disebut tak punya rasa, tak peduli. Rendahnya rasa memiliki masyarakat kita umumnya tampak jika ia berkaitan dengan fasilitas publik. Contoh: lampu jalan dibiarkan terus menyala hingga siang hari padahal saklarnya nempel di tiang yang berada di tempat lalu lalang orang (belakangan sudah ada yang diotomatisasi dengan sensor cahaya). Meskipun mendapatkan manfaat dari lampu itu "seolah-olah secara gratis", masyarakat tidak punya rasa eman dan rasa memiliki karena menganggap hal itu "urusan pemerintah". Mereka hanya memiliki kebutuhan terhadap cahayanya di malam hari, sedangkan di pagi dan siangnya mereka lebih membutuhkan gratisan nasi pecel atau soto untuk sarapan.
Di sisi lainnya, "rasa memiliki" masyarakat bisa naik mendadak (seperti pengidap darah tinggi yang habis makan gulai kambing) apabila ada fasilitas publik yang dapat dimanfaatkan justru untuk kepentingan pribadi, semisal tiang lampu penerangan jalan tersebut ambruk mendadak. Biasanya, muncullah beberapa orang secara tiba-tiba, seolah-olah mereka itu keluar dari dalam tanah, lantas bergotong-royong mengangkat tiang tersebut dan menyelamatkan lampu LED-nya. Mengangkatnya tentu bukan untuk diberdirikan lagi, melainkan untuk diangkut ke rosokan, ditimbang, dijual kiloan. Adapun lampunya diselamatkan dari rebutan tangan penjarah, diamankan sendiri di rumah.
Kasus seperti ini mirip dengan nasib pot-pot bunga nan imut yang diletakkan di atas separator jalan kota yang kurang terurus. Yang dibayar untuk mengurusnya mungkin terlalu sibuk mengurus "bunga-bunga lainnya yang mekar di hatinya" sehingga tidak sempat mengurus bunga sungguhan. Akhirnya, "rasa memiliki"-nya diambil alih oleh seseorang yang melintas di malam hari, memindah beberapa pot tersebut ke halaman rumahnya.
Rasa memiliki (sense of belonging) bukanlah masalah penting di negara yang ekonominya mapan dan keamanannya stabil. Di kita, ini masih gawat sebagai persoalan. Lalu, siapakah yang paling layak menyelesaikan masalah ini? Kita, bersama, meskipun ia nyatanya adalah pekerjaan rumah bagi motivator dan dai untuk membangkitkan kesadaran kolektif tentang pentingnya rasa memiliki. Boleh juga dijadikan agenda Badan Bahasa untuk membahas fungsi ketaksaan makna dalam kata maupun frase serta apa saja dampaknya bagi pemahaman dan kesalahpahaman masyarakat.
Yang jelas, walaupun Perum Pegadaian bisa membereskan segala masalah tanpa masalah, tapi justru akan jadi masalah kalau sampai ikut-ikutan ngurus masalah ini, akibat rasa memiliki yang salah. Meskipun tampak sepele, tapi serius bahaya jika sesuatu diurus bukan oleh ahlinya, seperti dakwah diurus oleh penggiat dunia hiburan dan fatwa agama dipasrahkan kepada orang yang justru baru mempelajarinya.

22 November 2017

"Ikut Sampai Depan!"

Sejak dulu, saya sering nunut orang yang sedang bersepeda motor sendirian. Ada yang mau, ada yang menolak. Kalau mau tentu senang, kalau ditolak, ya, harus sabar, tidak perlu baper. Ingat, kan, sama setiap ending film televisi Hulk? Lakonnya pasti selalu ditolak setiap kali mencegat mobil tumpangan.

Semasa kuliah, dulu, saya sering bawa ransel besar. Salah satu isinya adalah helm (helm dulu itu kecil, kayak helm proyek, enggak seperti helm SNI yang gede seperti zaman sekarang). Malah kadang enggak ada buku di ransel itu. Kalau dapat rezeki tumpangan ke jalan besar, saya akan segera memasangnya. Ah, naik sepeda motor itu ternyata tidak perlu beli motor. Modal helm dan sedikit pede ternyata juga bisa.

Terakhir saya lakukan nunut orang itu di Kamal, tahun lalu. Kata kuncinya adalah “ikut, Mas/Pak, sampai depan!”. Rupanya, frase “sampai depan” ini jauh lebih efektif daripada satu kata “ikut!” saja. Frase “sampai depan” menandakan kita hanya mau nunut tapi tidak jauh, tidak sampai melintasi hutan-hutan yang mungkin akan membuat seseorang itu berpikiran bahwa kita ini bukan orang baik-baik.

Tanggal 30 Oktober lalu, kejadian seperti itu saya alami lagi. Saat itu, kami terjebak antrian panjang di Blega karena perbaikan Jembatan Sempar yang belum kelar. Antriannya sampai ke SPBU. Saya langsung turun dan melihat-lihat. Mobil bergerak pelan, tapi masih lebih cepat langkah saya. Saya pesan kepada Aploh, sepupu yang menjadi teman duduk saya di jok depan mikrobis ELF yang kami sewa, "Ploh, Nanti aku naik dari jembatan."

Perbaikan jembatan secara bersamaan di beberapa titik jalur selatan Madura (dan hanya satu titik di jalur utara) membuat jarak dari rumah saya di Sumenep seakan semakin jauh ke Surabaya. Malam itu, kami pergi secara rombongan  menuju Bandara Juanda. Ada 65 orang semuanya, diangkut dengan bis ¾ (medium), 1 Isuzu ELF panjang, dan beberapa mobil. Penerbangan pukul 6 pagi. Kata kunci dari Hassan selaku kordinator: harus subuhan di masjid bandara.

Sembari melihat arus yang tersendat, saya pindah ke sisi utara, mengambil kamera, dan mulai mengintai mobil-mobil yang akan menyerobot dari arah timur. Saya ingin tahu teknik melanggar ala mereka serta bagaimana cara mereka bermanis muka jika nanti kres dengan mobil dari arah depan, dan bagaimana pula trik dan tips ngeles dengan cara masuk kembali ke barisan atau menyingkir ke bahu jalan. Itu inti mengapa saya turun dari kabin ELF.

Tak terasa, saya melangkah lumayan jauh, hingga di PLN Blega. Arus masih tertahan. Lanjut lagi, saya melangkah sampai persis di jembatan. Kemudian, dengan santainya, saya duduk di gardu, bersama beberapa orang yang tampaknya memang haus hiburan, yaitu orang-orang yang menikmati kemacetan sebagai tontonan.

Ada yang bergerak-gerak. Saat merogoh tas, eh, ada panggilan, dan sudah beberapa kali. Ternyata, suara panggilan tidak terdengar dan getar vibrator HP tidak terasa. Agak berisik mungkin sebabnya.

Saat saya telepon balik, ternyata mobil rombongan sudah ada di Indomaret, jauh agak ke selatan, sudah mendekati jembatan yang dekat pasar.

"Mana?"
“Masih di jembatan.”
“Wah, kami menunggu dari tadi, hampir saja kami tinggal.” [1]
“Oh, tunggu...”

Saya agak panik. Kalau jalan kaki, ya, lumayan jauh dan pasti banyak mengulur waktu, kalau ikut angkutan, pasti enggak ada karena kala itu tengah malam, kalau cari ojek, enggak rasional, ojeknya belum tentu ada dan belum tentu mau karena jarakya terlalu dekat.

Kebetulan, ada seorang bapak-bapak melintas dengan motor Mio. Kebesaran tubuhnya membuat Mio itu jadi kayak sepeda anak balita roda tiga.

"Pak, ikut sampe depan!"

Berbarengan dengan saat ia menoleh, saya langsung duduk di sadelnya. Susah juga kalau harus nunggu jawaban dan neko-neko. Saya kira, ungkapan “sampe depan” itu sudah cukup ampuh untuk membuatnya luluh, menerima saya sebagai pemboncengnya. Bapak itu jelas tidak tahu, di manakah yang dimaksud 'depan’ itu, tapi terbukti dia mau.

Intinya begini. Adapun tips atau cara menghentikan sepeda motor yang melintas, dapat digunakan;

1. Menggubit (melambaikan tangan seperti memanggil-manggil orang di kejauhan)
2. Mengangkat tangan kanan dengan jari mengembang
3. Mengangkat tangan dengan menunjukkan jempol

Pokoknya, jangan melakukan penyetopan dengan cara menghadang di tengah jalan dengan kedua kaki mengangkan karena itu cara alay. Atau, lebih-lebih, jangan lakukan penghadangan dengan senapan atau senjata tajam karena nanti Anda akan diduga perampok.

Setelah mereka berhenti, segera ucapkan rapalan di atas, "Pak/Mas, mau ikut/nunut sampai depan!". Saya semakin yakin, bahwa frase “ikut sampai depan” itu memang efektif sebagai kata kunci untuk menumpang, meskipun ambigu. Saya sudah melakukannya beberapa kali. Kalau kita menyebut nama tempat secara spesifik, tumpangan mungkin ogah dan boleh jadi masih akan ada debat di antara kita. Jadi, gunakan kata “depan sana” atau “sampe depan saja” kalau Anda mau cari tumpangan gratisan di saat terdesak. Insya Allah, orang asing pun pasti mau, asal saja tampang Anda (yang cowok) tidak mencurigakan laksana perampok dan orang yang mau Anda ikuti itu adalah seorang gadis remaja.




[1] Ancaman “hampir saja mau ditinggal” ini serius akarena kami terancam hangus tiket untuk 65 penumpang Citilink di pemberangkatan pukul 06.00 dari Juanda – Balikpapan 

17 November 2017

Cara Baru Menjual Mangga


“Mangganya sekilo, berapa, Pak?”
“Duabelas ribu, Bu.”
“Mahal banget, kayak di supermarket jadinya. Saya pergi ke sini kan cari mangga yang sama dengan yang di super market tapi harganya yang lebih murah, Pak. Masa harganya sama dengan yang di supermarket, sih! Huh!”
“Tapi, ini mangga asli, Bu, asli Probolinggo, ibukotanya mangga.”
“Lha, iya, Pak. Tapi, kok mahal banget.”

Karena si bapak yang belakangan diketahui bernama Nidin itu terdiam, seperti kena skak-mat begitu, maka giliran ibu muda ini mengambil sebuah, menimang-nimang, menimbang-nimbang, membolak-balik seperti petugas perum pegadaian memeriksa keaslian emas. Teliti sekali tampaknya si ibu ini, sampai-sampai Nidin jadi keki.

“Bisa 8 ribu, Pak? Saya mau ambil 5 kilo kalau bisa.”
“Belum bisa, Bu. Sudah deh, saya turunkan seribu, jadi 11 ribu per kilogram.”
“Masih kemahalan, Pak. Bagaimana kalau 9 ribu?”
“Wah, tetap gak nutut, Bu. Harga segitu saja masih belum nutup sama biaya angkutnya dari Probolinggo sana.”

Si ibu ini tidak menawar lagi, tapi juga tidak pergi. Ia mengulang aksi seperti tadi: menimang-nimang, menimbang-nimbang, dan tampaknya tetap tidak jadi beli.

“Lagi pula, salah Bapak, sih, jualan mangga sampe ke Bekasi, kan mahal di ongkos. Kenapa tidak jualan di Probolinggo sana saja, Pak?”
“Takut saya, Bu, diburu orang. Jadi, saya jualan mangga sampe Bekasi ini juga karena melarikan diri, kok.”
“Hah? Serius? Apa kasusnya, Pak?” tanya si Ibu mulai pasang tampang kecut.
“Pembunuhan!”
“Wah, bapak ini, kok, serem, sih. Apa pasalnya, Pak, kok sampe membunuh?”

Bapak itu lalu diam, menunduk. Ia memperbaiki posisi mangga-mangga dagangannya tersebut  agar kembali menarik dilihat calon pembeli karena tadi sudah diobrak-abrik sama si ibu muda.

“Mmm, nganu, Bu. Saya pernah membunuh calon pembeli yang tidak jadi beli, yang cuma nawar-nawar melulu. Akhirnya, karena saya sebel, saya bunuh saja dia biar tidak kelamaan ngoceh.”


Mata ibu muda mindzalik. Ia membuka tas, mengeluarkan beberapa lembar uang, dan membeli 5 kilogram mangga tersebut dengan harga asal. Kali ini ia tidak bicara lagi, tidak menawar pula.  Kalau saja si ibu ini sebuah ponsel, pastilah profile-nya baru saja diubah: dari ‘outdoor’ ke ‘vibrate only’.

CATATAN: jika ada kesamaan nama dan tempat, semua itu hanya dibuat-buat supaya kayak kebetulan. Tapi, jangan marahi saya. 

06 November 2017

Liburnya Jumat, Bolosnya di Hari Ahad


Saya melangkah menuju madrasah tempat dulu saya belajar, MANJ. Tampak ada tiga orang guru di sana, sedang duduk-duduk. Saya menyalami mereka dan langsung memperkenalkan diri, siapa tahu beliau bertiga tak satu pun yang ingat saya.

"Pak, abdina Faizi, Sumenep, kalowar 1993, paper bimbingan Panjenengan, Pak Nasir!" kata saya kepada guru yang saya salami terakhir, Pak Nasir, sembari menjelaskan identitas diri selengkap-lengkapnya.
"Ooo, iya, ya, ya... Dalam rangka apa ini?"
"Enggak ada, Pak, cuma main saja ke sini."

Lalu terjadilah percakapan jangkar dengan satu guru lagi, dalam keadaan tetap berdiri. Saya akan segera pergi dan para guru itu tampaknya juga mau ke ruangan untuk istirahat.

"Mmm... Anu, Pak. Saya minta maaf," lanjut saya.
"Maaf apa, ya?" susulnya
"Dulu, beberapa kali saya, saya loncat di situ," sembari menunjuk ke ujung timur, "pergi ke Warung Buk Niti, pada saat jam masuk tapi saat tidak ada guru."
"Ya? Ha, ha," Pak Nasir tersenyum lebar, senyum memaafkan.
"Iya, Pak. Enggak sering, lho, hanya beberapa kali saja. Di antaranya adalah saat Panjenengan sedang piket. Saya lari berjinjit ke timur saat Panjenengan sedang menoleh ke barat."  Saya menahan tawa.
"Iya, ya, ya..." Tangan beliau yang kekar menepuk bahu saya yang ringkih.
"Doakan saya, Pak," pinta saya seraya menyalami lagi lalu bergerak meninggalkan madrasah.

Godaan Bolos di Hari Ahad

Pada hari Ahad, sama seperti hari yang lain. Semua madrasah masuk, tidak seperti di luar sana. Kampus pun juga, sama. Hari Ahad adalah hari yang biasa karena haris Kamis malam sebagai weekend kami dan hari Jumat-nya sebagai hari party.

Di pagi hari Ahad, seperti hari lain di luar Selasa dan Jumat, ada beberapa pengajian kitab. Kami bisa memilih, ke masjid atau ke langgar Dalem Barat. Di Masjid ada Kiai Zuhri. Di Delam Barat ada Kiai Hasan Abdul Wafi. Saya yang mondok di dalem Kiai Malthuf malah masih dapat keringanan lagi sebab kala itu komplek kami masih tidak terintegrasi dengan PP Nurul Jadid secara administrasi, melainkan mandiri.

Saat saya akan boyong, komplek kami akhirnya punya nama: “Daerah Jalaluddin Ar-Rumi” dan berafiliasi dengan “Gang A PPNJ” setelah nama daerah usulan kami sebelumnya, “Abu Nuwas”, ditolak oleh pengasuh. Alasan penolakan usulan kami itu sengaja memang tidak kami tanyakan karena takut suul adab.

Karena status komplek yang independen inilah kiranya yang membuat kami kadang arogan dan sok leluasa untuk tidak ikut pengajian di pagi hari. Saya dan kawan-kawan malah pergi ke Tanjung. Yang sering adalah pergi ke warung ketan, makan ketan dan minum kopi, duduk berjongkong di atas bangku, bersama para tetangga, abang becak yang banyak, juga petani sebelum ke sawah. Alangkah bebasnya! Pengurus yang kadang beroperasi pagi untuk mencari santri yang keluyuran tak berani bertanya, apalagi menegur. Sudah tahu mereka kalau kami, santri daerah Ar-Rumi tidak bisa diseret dengan pasal pelanggaran karena punya status sendiri, istimiwir.

Balik lagi ke soal Hari Ahad...

Hari Ahad sering bikin saya galau. Saya sering ngumpet di kamar, terutama kalau lepas istirahat jam pertama, pukul 09.00. Kebetulan, muter radio boleh di komplek kami, tidak seperti di kompelek yang lain. Syaratnya cuma “asal tidak keras dan berisik”. Dan ini merupakan salah satu yang membuat saya tertarik tinggal di komplek ini setelah tidak mampu bertahan lama di PP Madrasatul Qur’an, Tebuireng.

Ada dua hal yang merangsang untuk bolos di hari Ahad:

Pertama,  mendengarkan radio Suzanna di pagi hari, pukul 09.30-10.30. Jadi, sangat beruntung jikalau di jam segitu tak ada guru. Saya akan nyimak penyiar Bung Mario berceloteh tentang perkembangan musik rock dunia, mulai dari info terkini dari Billboard Top 40, majalah Kerrang atau Metal Edge. Program acara Bung Mario ini bertajuk MBR (mungkin “music by request”). Lagu-lagu era tahun 92, seperti “Pull Me Under” dari Images and Words-nya Dream Theater saya tahu darinya, sebelum ada radio lain yang memutarnya. Bung Mario terkadang menyelingi komentarnya dengan sedikit sesumbar, semacam ungkapan “kami memperdengarkan ini pertama kali untuk Anda karena album ini belum beredar di Indonesia”. Begitu pula, dari Bung Mario inilah saya tahu band-band rada asing (kala itu) seperti Queensrÿche, The Almighty, tidak hanya seputar Warrant, Aerosmith, dan Bon Jovi.

Kedua, program “Rajawali Rock Line” asuhan Abas Fadli. Acara ini mulai pukul 15.00 dan berakhir pukul 16.00. Sayang sekali, acara ini kres dengan shalat jamaah salat ashar dan  pangajian Tafsir Ayatil Ahkam yang diampu oleh pengasuh. Nah, sayangnya lagi, saya tidak bisa bolos demi yang ini. Bukan karena program RRL lebih menarik dari MBR, bukan, melainkan karena susah cara bolosnya sebab pondok saya dekat sekali dengan mushalla. Pasti langsung ketahuan kalau saya tak hadir atau memutar terlalu keras. Jadi, hanya libur pengajianlah yang dapat menyelamatkan saya dari menikmati hidangan perkembangan musik rock dunia.

Kalau ingat masa SLTA di pondok, terasa senang sekarang. Kami belajar ‘nakal’ hanya pada tataran seperti itu, tidak berani keluyuran bareng lawan jenis di malam Jumat atau malam Ahad. Tapi, saat ini zaman sudah sangat pesat berubah, baik kemajuan maupun kemerosotannya. Coba saja perikasa lirik lagu zaman dulu ini: “Mati aku ayahku tahu / Aku sedang berjalan dengan pacarku / Mati aku ayahku tahu / Aku sedang berkencan dengan pacarku”.  Jalan berduaan saja, Rita Sugiarto itu sudah takut sekali, takut ketahuan, takut dipukul ayahnya. Lalu bandingkan dengan lagu/lirik berikut: “Kuhamil duluan sudah tiga bulan / Gara-gara pacaran tidurnya berduaan / Ku hamil duluan sudah tiga bulan / Gara-gara pacaran suka gelap-gelapan”: hamil duluan saja malah diberitahukan sambil jogetan. Sungguh, jarak masa lagu yang pertama dan yang kedua itu tidak begitu lama, terbukti saya masih sama-sama menututinya.

Ngeri, kan?


14 Oktober 2017

Nazar dan Jenisnya


Ada yang suka bernazar, ada pula yang enggan. Di antara mereka, ada yang tidak peduli terhadap kedua tipe tadi, bahkan terhadap apa itu nazar (dibaca: nadzar) pun tak tahu.
Nazar adalah perjanjian terhadap diri sendiri untuk melakukan suatu amal (lelaku yang baik) apabila harapan atau keinginannya telah terkabul.

Bagi orang yang tertentu, bernazar itu dianggap sebagai tindak pemacu (katalisator) dan juga pemicu amal karena dengannya seseorang akan melakukan badzlu al wus'i (pengerahan maksimal daya upaya) untuk mencapai tujuan sembari berharap ia juga menjadi doa agar dikabulkan. Yang tidak suka bernazar juga punya alasan. Menurut kelompok ini, bernazar hanya akan membuat orang jadi pelit dan pamrih. Bagaimana tidak akan begitu jika mau beramal hanya setelah mendapatkan yang diharapkan? Cara ini dianggap pamrih karena sudut pandangnya "bisnis banget".

Pro-kontra tidak akan dibahas di sini karena esai ini bukan masail fikih. Ini hanya semacam potret kecil atas sebagian fenomena sosial yang ada di sekitar kita. Terlepas dari pendapat-pendapat di atas, saya akan berikan beberapa contoh nazar.

* Nazar Biasa:
"Kalau proyek saya ini 'deal', saya akan berziarah ke makam Maulana Malik Ibrahim dan mengajak seluruh kerabat tanpa memungut biaya."

* Nazar Palsu
"Kalau nanti impotensi saya sembuh, saya akan kawin lagi." Ada juga contoh lain yang sama palsunya: "Kalau saya bebas dari maag, saya akan makan sepuas-puasnya."

* Nazar Curang (terutama anak Bismania)
"Kalau skripsiku kelar, aku bernazar jalan-jalan naik bis tingkat, tidak masalah meskipun Scania, bahkan andaipun harus duduk di muka."
  

Kalau ada yang mau menambahkan, silakan. 

28 Agustus 2017

Ngomong Dulu, Pikir Belakangan!



Apa-apa di dunia ini kalau terlalu dibawa serius akan bikin stres. Contoh, ada kalanya orang yang sudah dewasa tetapi “tidak bisa ngomong”. Maksud saya begini. Ketika ada seorang sahabat bilang, “Mau kamu saya kasih ponsel?”. Temannya menjawab ketus. Kayak apa? Dia menjawab bukan dengan ‘Oh, ya? Makasih, ya!’ melainkan dengan, semisal, ‘Boleh lah, gak apa-apa!’. Ada yang salah? Ya, masa dikasih hadiah bilangnya kejam dan ketus begitu.

Mengapa hal-hal remeh seperti ini terjadi? Karena ada orang yang suka ngomong dulu tapi mikir belakangan, memutuskan dulu dan mempertimbangkan kemudian.

Itu juga sama kasusnya dengan tempo hari ketika saya datang ke sebuah klinik. Ceritanya begini: karena baut pembuangan air kamar mandi di dalam kamar yang saya pesan itu bermasalah, bocor alus yang kalau ditinggal semalam diperkirakan esoknya langsung habis, saya bilang ke petugas. “Mbak, saya pindah kamar saja, atau tolong ini diperbaiki.”
Apa jawaban dia?
“Begini saja, Pak. Krannya dibuka keciiiil saja, nanti ‘kan air tetap penuh.”
“Lah, bukankah itu buang-buang air, Mbak?”
“Ya, Ndak apa-apa, Pak. Toh Bapak juga bayar buat tinggal di kamar ini.”
Jadi, dia mikir bahwa perialku boros (dan tidak berguna) itu tidak masalah asalkan kita mau dan berani bayar untuk itu.

Inilah contoh orang yang ngomong dulu mikir belakangan. Bagaimana orang-orang ‘yang bermasalah ini bisa punya cara berpikir seperti itu? Pastilah karena ia sering melihat yang berlaku begitu atau juga dibilangin orang lain agar berlaku seperti itu atau dia memang suka memutuskan cepat tapi mikirnya lambat (atau malah enggak pakai mikir? Hah?).

Saya sering menemukan lampu-lampu jalan yang terus menyala di siang hari, padahal ia berada di depan rumah orang. Tidak mampukah dia meluangkan waktu untuk memadamkannya padahal dialah yang paling diuntungkan dari fasilitas itu? Ketika lampunya mati, dia hanya bisa mengeluh ke sana ke mari. Tapi ketika berfungsi, dia tidak dapat berperilaku untuk menghemat dayanya.


Di hotel-hotel tertentu, hotel yang pengelolanya sudah punya wawasan environmental yang baik, handuk yang tidak dipakai tetap tidak akan dicuci. Mereka hanya akan mencuci handuk yang sudah diletakkan ke dalam keranjang. Apakah hotel yang tarifnya sudah mahal itu masih pelit juga? Oh, bukan, bukan begitu pola pikirnya. Mereka menganggap bahwa untuk apa handuk yang tidak dipakai kok mau dicuci? Kalau dicuci kan nanti harus pakai deterjen? Dan bukankah deterjen itu juga merusak tanah, air, lingkungan? air? Urutannya begitu.

Nah, coba Anda lihat orang yang meletakkan gerobak sampah ini. Setengah gerobaknya menutup pintu.  Mungkin dia parkir begitu saja. Tapi, masa dia tidak mampu kalau mendorong sedikit, anggaplah setengah meter lagi ke depan, sehingga tidak dapat menutup jalan? Percayalah, akan asyik andai setiap langkah yang kita putuskan itu kira pikir dulu, seremeh apa pun itu urusannya



01 Agustus 2017

Susahnya Menghadapi Nidin


Jika Anda lulus akpol dan jadi polisi (lalu lintas), berdoalah supaya tidak bertemu Nidin. Paling tidak, berdoa dan berusahalah agar Nidin cukup terlahir satu saja, jangan sampai sepuluh apalagi ratusan. Akan berabe hidup ini jadinya.

Tugas polisi itu berat, lho. Kalau tugasnya itu dienteng-entengkan, berarti dia polisi perkecualian, mungkin gadungan atau pengangguran yang sedang menyamar. Jika melihat ruwetnya lalu lintas di jalan dan kebiasan buruk masyarakat dalam berkendara, serta rendahnya penghargaan antar-sesama pengguna jalan, Anda punya dua pilihan: bercita-cita jadi polisi lalu lintas untuk ikut ambil bagian dalam mengurai permasalahan atau justru menghindarinya sama sekali.

Akan tetapi, di antara itu, masih ada jalan tengah: Anda tetap menjadi rakyat biasa tetapi—dengan niat tulus—ikut serta membantu pak polisi dalam memberikan penyadaran terhadap masyarkat akan resiko berlalu lintas di jalan raya, terutama bahayanya. Begitu juga, tugas Anda yang lain adalah mewanti-wanti sesama rakyat agar tidak melakukan praktik suap dan sogok (terhadap pak polisi) sebab itu seperti penyakit sampar: berbahaya dan menular.

Saya sebut beberapa contoh saja:

Ada rombongan ziarah ke Mertajasa, Bangkalan. Mereka naik L300 'stesen' yang isi normalnya 7 orang itu namun disesaki 17 orang, tentu saja dengan cara duduk gaya meringkuk. Di sebuah ruas jalan, mobil diberhentikan oleh pak polisi, akan ditilang mungkin. Katanya, mobil kelebihan muatan.
Tapi, apa jawaban Nidin yang kebetulan menjadi salah seorang penumpangnya? “Kami ini mau sowan ke Syaikhana Muhammad Khalil, Pak. Apa Sampeyan tidak takut 'tulah' kalau Sampeyan menghalang-halangi tujuan kami?”

***

Nidin datang ke samsat. Turun dari parkiran, mendekat ke loket, lalu meringsek di antara antrian: “Mau beli SIM, Pak!” katanya dengan nada bicara seolah dia sedang pesan bakso.
“Beh, apa-apaan ini kok langsung beli. Daftar dulu, ujian dulu!”
Nidin: "Ujian? Masa’ mau langsung ujian jika saya belum pernah dapat materi pelajaran?”

***

“Kok pake peci? Mana helm-nya?”
“Peci ini sudah di-asma’, bahkan ada hizib Andarun-nya juga. Peci ini tidak akan lepas dari kepala saya karena sudah ‘nonggal’ (manunggaling),” jawab Nidin dengan bangga ketika petugas menghentikannya.
Petugas: (sembari tersenyum) “Kalau nanti jatuh dan kepala Anda kejedug aspal?”
Nidin: “Dengan seizin Allah, aman, Pak. Paling-
paling cuman aspalnya yang hancur.”

***

Petugas: “Jangan grusa-grusu begitu kalau mengemudi. Hati-hati di jalan. Keluarga Anda menunggu di rumah.”
Nidin: “Lha, iya. Saya pulang tergesa-gesa ini justru karena barusan ditelepon. Saya memang ditunggu sama orang rumah. Katanya ada tamu.”

Pernah juga, suatu waktu, Nidin ingin masuk ke gang yang ada rambu ‘forbidden’-nya (bundaran merah bergaris melintang di tengah; pertanda “dilarang masuk”). Rupanya, dia ogah jika harus memutar karena tujuannya berada di ujung jalan. Nidin memundurkan mobilnya, lalu masuk secara mundur.
“Apa-apaan ini, Din?” tanya Hamdi yang duduk di sampingnya, heran. “Mobil 'kan tidak boleh masuk di timur sini?”
Nidin: “Aku ini ndak masuk, Di, tapi mundur. Anggap saja kita masuk dari arah barat cuma kebablasan dan ini hanya mundur sedikit ke belakang.”

***

APA ENGGAK STRES Anda jadi polisi kalau yang dihadapi selalu orang-orang semacam Nidin ini? Tapi, yang namanya Nidin itu akan selalu ada di dalam hidup ini. Jadi, usaha untuk lebih baik memang harus terus diperjuangkan, tapi jangan terlalu berandai-andai hidup ini menjadi sangat tenang dan tertib karena hal itu akan membuat Nidin kehilangan pekerjaan. Dampaknya malah lebih buruk daripada penyakit sampar karena ia menggerogoti pikiran. Tanpa Nidin, lambat-laun Anda akan kurang bertanggung jawab terhadap tugas yang dibebankan.

Sabar, ya, Pak! Saya akan bantu Anda dengan cara ngomong baik-baik terhadap Nidin-Nidin ini melalui ceramah dan diskusi buku "Celoteh Jalanan".

26 Juli 2017

Makanan Sebagai Obat atau Obat Sebagai Makanan?

  "Obat demam Sampeyan ini mudah, Mas," semprot Mbah Tomy kepada Mas Joni yang duduk jarak sedepa tepat di depan hidungnya. Sembari menepuk-nepuk bahu pasiennya ini, ia menambahkan, kali ini dengan suara lebih pelan. "Obat Sampeyan itu bukan paracetamol, tapi soto!"
"Serius?" Mas Joni melongo, ragu.
"Ya, habis ini Sampeyan pulang, cari soto, minta tambahan bawang goreng dan jangan lupa sambal cabe-nya yang banyak."
"Baik, Mbah Tabib. Tumben sekali hari ini: saya harus minum obat yang enak sekali."
"Tapi, nganu... Mas," imbuh Mbah Tomy, "berfantasinya dikurangi, ya!"


***


Di kesempatan terpisah, saya mengonfirmasi kedua belah pihak, apa cerita di atas itu benar atau tidak, ternyata benar adanya. Menurut Mbah Tomy, meskipun sama-sama berfungsi sebagai obat batuk, kukusan kembang blimbing wuluh, jahe hangat, jeruk nipis bertandem kecap, beda peruntukannya. “Masing-masing resep bergantung pada cuaca dan kondisi pasien. Herbal itu tidak mudah, justru berada pada kasta tertinggi di ‘maqam’ pengobatan ala kedokteran Timur. Makanya, soal reaksi cepat atau tidaknya sangat dipengaruhi oleh ketepatan komposisi dan caranya,” jelasnya.

Di dalam buku “Mutiara yang Terpendam” (saya lupa nama penyusun dan penerbitnya, yang pasti negera terbitnya adalah Malaysia, kapan-kapan saya susulkan jika ketemu bukunya), dijelaskan bahwa pola makan sangat berpengaruh pada kesehatan seseorang, bahkan ia menjadi kunci obat yang paling mujarab. Sementara ini, kita dibentuk oleh persepsi umum bahwa “makan itu tiga kali sehari”, sementara dalam tradisi kuno—termasuk leluri Islam, makan itu, ya, kalau lapar dan berhenti menyuap ketika perut mendekati kenyang alias sebelum kenyang. Yang mana yang kita pilih? Atau, makan melulu enggak kenyang-kenyang?

Sementara itu, Prof. Hiromi Sinya—saya tahu nama ini dari akupunkturis Mudhar nan Asyik—bahwa ia telah mengobati ratusan panderita kanker hanya dengan mengubah pola makan, salah satunya adalah dengan cara mengunyah (hingga 70 kali dalam sekali suap). Kunyahan sebanyak itu bukan sekadar hanya untuk menghaluskan nasi yang dimakan, melainkan demi produksi enzim. Dan cara ini sebetulnya telah diajarkan oleh nenek moyang kita (atau saya) karena begitulah anjuran dari Nabi Muhammad saw, hanya saja klta manut-manut saja karena beriman, bukan karena tahu alasan ilmiahnya sebagaimana baru-baru ini ditemukan oleh penelitian sains.

Saya lantas ingat kakak saya yang sakit. Dia dianjurkan untuk mengunyah sampai halus. Karena capek, kakak saya pakai cara “moderen”: dia masukkan nasi, kuah, dan lauknyasekaligus ke dalam blender, dimesin, lalu dituang ke dalam piring dan diminum (karena sudah jadi kayak bubur). Cepat sekali cara dia makan. Namun, kalau ingat enzim, ya, sekarang saya tahu, mesin blender tidak menghasilkan enzim karena itu berproduksi dari mulut/liur.

Pada penutup kata pengantar buku “The Miracle of Enzyme-nya Prof. Hiromi Sinya ini, Dahlan Iskan menulis: “Yang mengembirakan dari buku Prof. Hiromi Sinya MD ini adalah: orang itu harus makan makanan yang enak. Dengan makan enak, hatinya senang. Kalau hatinya senang dan pikirannya gembira, terjadilah mekanisme dalam tubuh yang bisa membuat enzim induk bertambah.” Jadi, usahakan Anda merasa makan sate kambing meskipun yang Anda hadapi adalah sate tahu. Tapi, apakah ini mungkin?

Nah, kebetulan, ketika saya menulis esai ini, saya sedang diserang batuk. Makanya, ketika ditelepon teman, suara saya mungkin terdengar kurang mesra. Lantas dia pun bertanya.

"Anda kedengarannya kurang sehat, ya?" Tanya kawan di seberang telepon.
"Iya, agak batuk, Mas."
"Oh, obatnya gampang: jeruk nipis sama kecap."
"Sudah, Mas, tadi malam, tapi reaksi kurang jos. Apa saya salah resep, ya?"
"Emang dibagaimanakan, Mas? Kan cuma diiris, kasih kecap, telan. Gitu aja, kan?'
"Ndak, Mas, sama saya kecap dan irisan jeruknya dimasukkan ke dalam semangkok soto."

Jadi, makanan itu sebetulnya adalah obat kalau kita mempersepsikannya begitu. Kerja obat herbal juga reaktif, asal tepat takaran dan penggunaannya, seperti cerita obat batuk di atas ini.


17 Juni 2017

Menuju Keselamatan Berkendara



Macet di Bawen, truk nyaris 'adu banteng' dengan bis (9 Peberuari 2013) 
Pendahuluan: artikel ini merupakan rangkuman dan juga pengembangan dari artikel Riyanto Hino yang mula-mula diterbitkan di mailinglist bismania pada 14 November 2010 dengan subjek ‘Defensive Driving Behavior Development’ (terbagi dalam empat rangkaian pesan: bagian ke-1, ke-2, ke-3, dan ke-4). Menurutnya, artikel disusun berdasarkan pengalaman penulis sebagai pelaku, teknisi, dan dari hasil workshop keselamatan berkendara. Artikel ini boleh disebarkan. Penyuntingan dan penambahan dilakukan oleh saya (M. Faizi).

* * *


Beberapa pakar menyatakan bahwa terjadinya kecelakaan lalu lintas tidak pernah disebabkan oleh satu hal saja. Artinya, tidak ada kecelakaan karena faktor tunggal.  Setiap peristiwa kecelakaan selalu didukung oleh faktor lainnya. Jadi, kecelakaan tidak identik dengan takdir, dengan maksud bahwa melalui usaha dan upayanya, manusia mestinya dapat menghindari kecelakaan. Secara teoretis, kecelakaan kendaraan bermotor dapat dicegah karena ia merupakan kumpulan beberapa kesalahan: unsur manusia, kendaraan, dan lingkungan.
Anda pernah mendengar slogan “kecelakaan selalu didahului oleh pelanggaran”? Polisi lalu lintas mengkampanyekan hal ini di papan-papan dan poster di tepi jalan. Memang betul, slogan tersebut berlaku umum. Contohnya begini: Apabila ada mobil yang menyalip pada pandangan tidak bebas, lalu terjadi tabrakan “adu kambing”, itu bukan takdir. Ia telah dengan sengaja membuka lebar kemungkinan terjadinya kecelakaan karena menyalip tidak pada tempatnya, yakni menyalip di tikungan (marka jalan: garis-putih-sambung). Ada pula kasus truk yang terperosok ke jurang. Kesalahannya tidak pernah tunggal. Kemungkinan, truk melanggar beberapa aturan: sopir tidak konsentrasi; rem tidak pakem karena tidak dicek oleh montir yang ahli; muatan melebihi kemampuan (overload; melampaui batas tonase), dll.
Kalau misalnya ada seorang polisi lalu lintas (polantas) mengalami kecelakaan di jalan, (anggap saja karena “kecelakaan tunggal”), apakah hal itu lantas boleh membuat kita membikin anggapan umum bahwa kecelakaan itu takdir dan karenanya siapa saja mungkin mengalami celaka sebab seorang polantas pun mengalaminya? Berhentilah mengambil sudut pandang seperti itu. Dalam kasus ini, kita harus melihat banyak faktor pendukung: laka lantas terjadi di ruas jalan yang rusak (faktor Dinas Pekerjaan Umum); si polantas menghindari pengendara sepeda motor yang belok mendadak (faktor manusia di luar dirinya); jalan licin karena ada longsoran tanah (faktor alam); atau memang karena hal itu adalah kasus perkecualian, seperti bahwa dia adalah oknum polantas yang memang melanggar aturannya sendiri, seperti menerima panggilan telepon sambil berkendara, misalnya. Ingatlah silogisme. Karena itu, perkecualian tidak dapat dijadikan pandangan umum.
Sekarang, mari kita pelajari faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor.


I. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KECELAKAAN

Kondisi lalu lintas berhubungan erat dengan perkembangan wilayah dan sosial ekonomi. Demikian pula, ia berhubungan dengan para pelaku (manusia), terkait tingkat pendidikan dan wawasannya.  Penyebab lainnya berhubungan dengan kerjasama antar-lapisan masyarakat, termasuk antar-instansi. Jika pemerintah (melalui Polri, Dishub, dll,) hanya bekerja sendirian, keselamatan berkendara hanya akan menjadi slogan saja. Jika tokoh-tokoh masyarakatnya gemar melanggar, anak-anak mudanya dibiarkan sembrono tanpa tindakan, perusahaan transportasi tidak memberikan bekal wawasan keselamatan yang baik kepada para pekerjanya, maka slogan “keselamatan berkendara” dan “nol kecelakaan” hanya akan jadi omong kosong belaka.

A. Faktor Yang Berpengaruh Langsung

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kecelakaan yang sebetulnya dapat dikendalikan secara langsung. Bagian ini meliputi unsur pengemudi dan kendaraan.

  1. Faktor pengemudi: aspek kesadaraan akan bahaya serta keterampilan mengendarai merupakan penentu utama. Berdasarkan studi para ahli di DOT USA, dan “National Safety Council”, penyebab kecelakaan kendaraan bermotor—dari segi kuantitas—dapat digambarkan sebagai berikut: tidak mengenal bahaya, tidak fokus, kurang terampil mengendarai, kurang sehat.
  2. Faktor kendaraan: meliputi faktor teknis kendaraan. Secara berurutan, penyebabnya adalah: kemampuan sistem rem (tromol; cakram; ABS; dll); ban pecah/gundul; suspensi/kerusakan mekanis; kerusakan mesin.

B. Faktor Yang Berpengaruh Tidak Langsung

Selain faktor yang berpengaruh langsung, ada pula penyebab kecelakaan yang tidak bersifat langsung, antara lain: kondisi jalan dan lingkungan (karena cuaca dan unsur alam); kebijakan pemerintah (seperti tidak adanya pertimbangan dampak kemacetan akibat adanya penyempitan jalan [jalan leher botol] pada simpul-simpul wilayah baru); rendahnya penegakan hukum (mobil tidak berlampu rem tapi lolos dari tilang karena uang sogokan); dll.


II. MENGENAL PERILAKU PENGEMUDI: OFENSIF DAN DEFENSIF

“Pengemudi ofensif”: Mudahnya, tipe ini dapat disebut sebagai tipe pengemudi ‘ganas’. Mereka cenderung memiliki sikap tidak taat norma-norma lalu lintas, kurang memperhatikan kepentingan dan hak-hak pemakai jalan lainnya. Pengemudi semacam ini memiliki potensi sangat besar sebagai penyebab kecelakaan. Sementara “pengemudi defensif” (gampangnya kita sebut pengemudi tipe ‘kalem’), tidak termasuk di dalam kelompok accident prone (mudah mendapat kecelakaan) karena telah memiliki pengetahuan keselamatan dan kehati-hatian, namun mungkin saja menjadi korban ulah pengemudi ofensif tersebut.

Beberapa Faktor Penyebab Perilaku Ofensif:  

            Adanya tipe pengemudi ofensif (ganas) dan defensif (kalem) bagaimana mata ulang dan keduanya tidak dapat dipisahkan. Kehadiran mereka selalu ada di jalan raya. Jika kita perhatikan, di negara-negara maju, kemunculan tipe pengemudi ofensif jauh lebih kecil daripada tipe pengemudi defensif. Maka sebab itulah, angka kecelakaan di jalan rayanya pun sangat rendah. Apa saja penyebab yang membuat seorang pengemudi bertabiat seperti ini? Banyak alasannya, antara lain:

1.            Latar belakang pendidikan (tidak pernah belajar teori, terlalu percaya diri pada skil yang tidak dilandaskan pada ilmu namun hanya spekulasi; tidak pernah atau menolak ditegur oleh orangtua/keluarga/senior)
2.            Pengalaman: tidak paham medan jalan, hanya pernah mempelajari kasus kecelakaan untuk pencegahan
3.            Bakat/sifat bawaan: temperamental, mudah emosi (disebut juga ‘sumbu pendek’), suka ambil menang sendiri alias tidak pernah mau mengalah  
4.            Motivasi: pengemudi tidak paham tugasnya sebagai pengemudi. Ia tidak sempat memikirkan tanggung jawabnya sebagai pengemudi, bahwa ia membawa kendaran yang berpengaruh pada orang lain, pada penumpang, dll. Apa dan mengapa ia melakukan manuver, misalnya, tidak dilandaskan pada pertimbangn yang matang, hanya karena suka-suka saja.
5.            Beban mental: beban pikiran saat mengemudi, tekanan pekerjaan, masalah keluarga, dll, dapat mengurangi konsentarasi di jalan dan dapat mengganggu aktivitas saat mengemudi
6.            Lingkungan: lingkungan yang menganggap biasa sebuah pelanggaran akan membuat mental seorang yang disiplin berubah wataknya, yakni ikut-ikutan untuk gemar melanggar juga.

III. EMPAT SYARAT MENJADI PENGEMUDI DEFENSIF:

Untuk menjadi pengemudi defensif (pengemudi kalem, berwawasan aman), seseorang harus melewati beberapa tahap pembelajaran. Pengemudi yang telah membekali dirinya dengan wordshop, pelatihan, memperkaya bacaan, kursus, akan lebih mudah memiliki karakter ini. Ia tidak serta merta ada, melainkan harus dipelajari, diupayakan. Adapun syarat-syaratnya, antara lain, adalah sebagai berikut:

1.            Kesadaran akan bahaya dan resiko (risk awareness). Pengendara harus paham soal ini. Contohnya: jika kita menyalip di tikungan, di siang hari, maka kemungkinan terjadinya tabrakan adu kambing/adu banteng sangat besar karena munculnya kendaraan dari arah lawan sama sekali tidak dapat ditebak. Jika tidak sadar akan bahaya resiko, orang akan mudah melakukan apa pun hanya berdasarkan emosi dan suka-suka saja di jalan raya.
2.            Manajemen perjalanan. Termasuk dari manajemen perjalanan adalah mengajukan pertanyaan sebelum berangkat: ‘Apakah fisik dan mental saya siap dan mampu untuk melakukan perjalanan? Apakah kendaraan saya laik jalan, seperti rem dan kemudi dalam keadaan normal?’. Jika tidak, atau tidak mungkin, atau harus dilakukan tapi situasinya berbeda, ajukan pertanyaan lagi: ‘Apakah perjalanan ini perlu dilakukan? Tidak bisakah ditunda? Atau, bisakah perjalanan ini menggunakan kendaraan lain seperti bis, kereta api, pesawat udara, atau kapal laut?’. Semua pengajuan pertanyaan ini merupakan bagian pengujian dalam manajemen perjalanan yang harus dilakukan oleh para “pengemudi defensif”.
3.            Perawatan kondisi kendaraan. Cek kendaraan secara berkala, terutama bagian vital, seperti rem, tekanan angin, stir, adalah tindakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kecelakaan dan masalah di jalan. Adapun kontrol bagian lain, seperti pengecekan air, oli, dll, menempati peran berikutnya. Tindakan ini lebih-lebih diperlukan jika kendaraan yang akan Anda gunakan adalah kendaraan rental/bukan pegangan sendiri. Anda—misalnya—dapat sembari melakukan pengecekan rem pada kecepatan rendah dan kecepatan sedang, mengecek steering, dll., tentu dalam situasi jalan yang aman.
4.            Penguasaan teknik mengendarai (low risk driving techniques). Ia meliputi kemampuan menganalisa dan menyikapi ancaman terhadap bahaya.  Kemampuan indera mata adalah alat utama yang dapat digunakan. Pahami cara mengerem, menikung, juga mempertimbangkan jarak aman saat akan menyalip, dll.

IV. TAMBAHAN

Banyak orang tidak sadar bahwa mengendarai dan menjalankan kendaraan itu adalah aktivitas yang beresiko tinggi. Oleh sebab itu, aturan lalu lintas dibuat untuk membantu kelancaran dan keamanannya. Karenanya, kita harus menjaga keamanan dan keselamatan mulai dari diri sendiri. Caranya: sadar dan tahu apa yang dilakukan; mengenal bentuk dan macam-macam bahaya yang dihadapi; mengetahui resiko yang timbul/muncul dan dapat menyikapinya dengan cepat dan tepat, serta; menguasai teknik mengendarai kendaraan bermotor dengan benar.
Terkait hal tersebut, penting bagi kita untuk mengetahui resiko dan manajemen resiko serta mengenal kemungkinan bahaya di jalan raya.
“Manajemen Resiko”: Pemahaman dan penguasaan resiko adalah pengetahuan manajemen resiko. Secara naluriah, manusia akan sepontan menghindari hal-hal yang mempunyai potensi merugikan dirinya. Kenyataannya, meskipun banyak kejadian yang menunjukkan bahwa aktivitas mengemudi telah menimbulkan kerugian, baik nyawa maupun harta, aktivitas mengemudi tetap saja digeluti. Lemahnya pemahaman terhadap manajemen resiko menyebabkan kecelakaan dan berbagai sabab-musababnya (di jalan raya) tidak dipelajarinya/tidak dijadikan pelajaran (dianalisa).
“Bahaya”: Bahaya adalah suatu obyek, kondisi fisik atau pengaruh fisik, yang mempunyai potensi untuk menyebabkan suatu kehilangan, kerusakan, kehancuran, atau kerugian, bahkan kematian. Bahaya itu selalu ada dan resiko akan muncul bilamana terjadi aktivitas di jalan raya karena jalan raya adalah suatu tempat berkumpulnya segala macam bahaya (pejalan kaki, pengendara, kendaraan bermotor, kepadatan pemakai jalan, kondisi permukaan jalan, cuaca).  Jika kita dapat mendeteksinya, maka kita harus segera mengambil sikap untuk menghindarinya.
“Resiko”: Resiko adalah akibat dari suatu aktivitas. Resiko—dalam konteks “health, safety, and environmental”—didefinisikan sebagai ukuran kemungkinan terjadinya suatu insiden dan potensi keparahan dari insiden tersebut. Dengan demikian, jika dikatakan bahwa bahaya akan selalu ada, maka resiko adalah sebaliknya: tidak pasti harus ada. Faktor yang hilang dalam mata rantai di sini adalah aktivitas. Artinya, jika Anda melakukan aktivitas maka akan ada resiko. Tingkat resiko terdiri dari tingkat yang minim hingga tingkat yang serius. Frekuensi aktivitas Anda berhubungan dengan tingkat resiko: semakin tinggi tingkat frekuensinya, maka semakin tinggi pula potensi resiko yang akan diterima.
Dengan begitu, orang bijak akan dapat menekan resiko kerugian dari aktivitas yang dilakukan serendah-rendahnya. Ia akan memulai sesuatu setelah mengetahui secara pasti: apa saja yang akan ia lakukan; mengapa ia harus lakukan, dan; bagaimana ia melakukannya dengan benar. Semua ini diawali dengan langkah-langkah, antara lain, sebagai berikut: mengetahui segala bahaya dan potensi resiko; mengkaji kembali mengapa dan bagaimana menyikapi bahaya dan resiko-resiko yang akan dihadapinya, dan; membuat rencana aktivitas yang akan dilakukan. Jika ini dijabarkan di dalam aktivitas mengemudi, maka seorang pengemudi diharapkan betul-betul mengerti dan mampu mengoperasikan kendaraan dengan benar, mempunyai alasan yang kuat untuk mengoperasikan, fokus di dalam mendeteksi segala bahaya dan bereaksi dengan cepat dan tepat terhadap segala ancaman.
Itulah beberapa hal dasar yang dapat dipelajari untuk kita terapkan di jalan raya. Intinya, berjalan dengan benar saja tidak cukup karena kita juga harus berhati-hati sebab kerapkali muncul orang yang sembarangan dan berperilaku serampangan di jalan. Tidak perlu tergesa-gesa jika harus melakukan pelanggaran terhadap aturan lalu lintas sebab jika itu kita lakukan, maka tempat yang kita tuju akan semakin jauh, bahkan tidak tercapai, jika kita telah mengalami kecelakaan.

Bijaklah di jalan raya. Jalan raya milik bersama. 

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog