22 November 2014

Benar dan Pantas

Hari condong ke barat. Tampak seorang lelaki sedang shalat di sebuah ‘wakaf’. Yang dimaksud wakaf adalah mushalla kecil yang biasanya berada di dekat kali/sungai, dekat sawah (di Madura). Ia hanya mengenakan sarung, tanpa baju. Di sampingnya ada kolor dan cangkul. Sarungnya digulung agak tinggi agar menutupi pusar namun tetap menutupi lutut, mirip kemben. Sepintas, dari busana dan perlengkapannya, terduga ia seorang petani.

Penggambaran ini bukan soal mengapa dia tidak mengenakan baju di saat shalat. Apakah bajunya basah karena terkena lumpur atau lupa dibawa saat pagi hari dia pergi ke sawah, padahal ketika itu  waktu shalat Duhur sudah hampir habis dan ia harus menunaikan kewajibannya? Yang pasti, gambaran ini menjelaskan bahwa dia sudah cukup syarat menutupi aurat untuk shalat. Orang yang kebetulan lewat di kejauhan akan menganggapnya pantas-pantas saja.

Akan tetapi, tentu tidak demikian kesan yang akan muncul jika dengan pakaian dan dandanan seperti itu dia sedang mengimami shalat Jumat di sebuah masjid agung. Shalatnya sah, sih, sah, dan mungkin juga tidak ada masalah karena hubungan tersebut adalah hubungan pribadi seseorang dengan Tuhannya. Tapi, mana mungkin ia akan lakukan itu di masjid?

Tiga paragraf di atas hanyalah sebuah ilustrasi tentang sesuatu yang benar dan pantas dan juga tak pantas. Saya tambahkan tiga ilustrasi lainnya di bawah ini.

Seseorang dengan dandanan pemulung sampah sah-sah saya turun dari Mercy SLK lalu masuk ke warung dan makan siang. Sepanjang ia membayar setelah makan, pemilik warung tentu tidak akan mempermasalahkannya; mobil sport itu ia peroleh dari hasil memulung di mana atau pinjam milik siapa. Atau, ini lagi: ada perempuan sangat cantik bergandengan tangan dengan lelaki tua yang miskin. Apakah ini juga pantas?

Tunggu, saya tambah satu lagi: kalau kamu buat cerita dan kamu jadi tokohnya; seorang pemuda desa yang miksin menikah dengan anak presiden yang cantik, pintar, kaya, dan dihormati, itu bisa saja terjadi dan dipantas-pantaskan. Tapi, cobalah tawarkan cerita kamu itu. Di koran mana pun ia tak akan dimuat, dijual di asongan pun tak akan laku. Mengapa? Meskipun itu semua benar dan nyata, tapi ya, itu tadi, semua itu ada pantas-pantasnya. Perkecualian hanya terjadi secara tak terduga dan jarang, sedangkan manusia cenderung membaca, melihat, dan menyaksikan sesuatu yang lumrah dan kaprah di sekitar mereka.




11 Oktober 2014

Min Amin Pendek

Pernahkah Anda mendengar istilah ‘min-amin pande’ atau istilah sejenis di sekitar tempat Anda tinggal? ‘Amin yang pendek’, begitulah maksudnya. Ini merupakan acara tanpa acara, tanpa rundown, tanpa senarai acara apa pun selain datang-doa-makan.

Umumnya, acara-acara pernikahan atau selamatan itu relatif beragam. Ada yang versi komplit dan ada pula yang versi hemat. Ciri-ciri acara yang komplit biasanya ditandai dengan—salah satunya—acara pembacaan ayat suci Alquran bil mujawwad. Acaranya kurang lebih seperti ini:

1. Pembukaan (Pembacaan Surah Al-Fatihah)
2. Pembacaan Ayat Suci Alquran.
3. Aqad Nikah
4. Shalawat bil Julus wal Qiyam (duduk dan berdiri)
5. Sambutan pemasarahan (dari mempelai pria)
6. Sambutan (dari tuan rumah; mempelai perempuan)
7. Hikmatun Nikah
8. Doa (bisa satu-3 orang)

Nah, adapun yang disebut dengan min-amin pande’ itu adalah rangkaian acara untuk kegiatan yang sama namun tidak banyak ini-itunya. Acara dimaksud dirangkai sesingkat mungkin, seperti pembukaan-shalawat-doa. Yang lebih singkat lagi ada: acaranya hanya satu, yaitu doa, dan setelah itu langsung makan lalu bubar.

Min-amin pande' ini biasanya dilangsungkan di rumah mempelai pria (beberapa menit sebelum berangkat ke rumah mempelai wanita) ataupun di rumah mempelai perempuan (untuk akad nikah yang sudah berlangsung lama dan untuk undangan khusus). Oleh karena itu, disebut pande’ (pendek) adalah untuk mengistilahkan kalau acara ini sangat singkat. Dan karena adanya unsur 'pendek' ini, terkadang hanya dibutuhkan kisaran waktu 5 menitan saja untuk merampungkan acara.

19 Agustus 2014

Rapor Makan


Di depan saya, ada semangkok sup kepala kakap. Saya ambil piring bersih dan memindahkan satu kepala untuk mencabik-cabiknya. Di sampingnya, terdapat menu udang pedas manis. Masih dalam seperjakangkauan tangan, tampak kerang dan cumi-cumi dalam wadah yang lain. Posisi sajiannya menantang untuk diembat. Hanya gule berikut satenya, entah ayam entah daging, yang berada di luar batas panjang lengan. Tentu norak kalau saya mendekatkannya ke piring, lebih-lebih apabila justru saya yang mendekat ke arahnya, sebab di acara itu kami sedang makan dengan cara lesehan.

Akan tetapi, baru ¾ nasi putih yang saya telan, lauk-pauk sudah habis. Saya sadar, bukan saja dalam akuntansi, dalam hal hitung-hitungan suapan nasi agar imbang dengan lauk yang tersaji pun ternyata saya gagal. Ikan habis sementara nasi masih banyak. Karena nilai cara makan ini tidak akan dimasukkan ke dalam rapor, maka sesungguhnya saya masih punya banyak kesempatan untuk nambah lauk atau ganti selera lagi walaupun itu nanti saya akan dianggap gelojoh dan tidak sopan, kata orang “kurang tahu budi pekerti”.

Saya masih ingin gule dan sate. Eh, tidak, saya ingin gule dan sate dihabiskan dulu lalu mencoba cumi-cumi karena dalam kesempatan itu semua makanan adalah cuma-cuma. Tapi, itu tidak jadi saya lakukan karena terdengar sebuah bisikan agar saya menghabiskan nasi putih tanpa lauk apa pun, hanya bersama sedikit kuah yang tersisa dari sup kepala kakap tadi.

“Tahan! Makan saja yang tersisa, atau yang ada di dekatmu.”

Saya melihat sekilas sumber suara itu, melihat wajahnya; wajah dengan air muka yang datar; seorang lelaki yang sejak tadi hanya makan nasi tanpa lauk sama sekali. Mungkin ia mengidap kencing manis atau kolesterol tinggi.

“Menahan ingin dalam situasi serbamungkin itu lebih berat daripada ketika kita tidak punya kesempatan atau terlarang sama sekali.”

14 Juni 2014

Berita Bernasib Malang (2)

Memang, hanya butuh beberapa menit saja untuk mengetik ulang berita ini, dan tentunya jauh lebih singkat daripada si wartawan saat dia membuatnya. Ini penting untuk diketahui bahwa saat ini kita semakin sulit menemukan orang yang bekerja serius di bidangnya. Wartawan adalah pemburu berita tetapi juga diburu tenggat (deadline). Akan tetapi, harus diingat, ia harus menjaga etika jurnalistiknya dan menjaga profesionalitasnya.

Saya tidak mengerti mengapa ada "berita bernasib malang" dengan penulisan seperti ini. Berikut saya transkrip dengan tanpa mengubah ejaan, apostrof, bahkan juga huruf kapitalnya. Saya tuliskan sepersis-persisnya (kecuali nama koran dan wartawan yang saya rahasiakan. Sumber gambar dari sebuah akun di Facebook):


“H.Imam Mahdi sebagai kepala desa pragaan laok kec. pragaan kab Sumenep memang pantas di juluki sebagai lurah jelma’an jokowi. karena tingkah lakunya dan kepribadiannya persis seperti gayanya jokowi (Gubernur DKI Jakarta yang lebih kondang capres dari PDIPerjuangan).

H.Imam Mahdi sukanya blusu’an dan sering turun ke kampung-kampung untuk mengajak masyarakat petani biar lebih semangat lagi untuk bekerja. Bisa dibayangkan kades ini sudah dua periode menjadi kepala desa tapi kenyataannya dan keada’an dia nasih biasa biasa saja malahan kendara’annya yang biasa di pakai sepeda motor lawas yang sudah tidak ada nilai nya lagi.

Wartawan *DIRAHASIAKAN* sempat menemui sekdesnya. Yang menjelaskan kalau pak lurah saya patut di ajungi jempol karna pribadinya apa adanya, seperti adanya proyek yang sekarang ini dikerjakan (PPIP-BKD) panjangnya melebihi ukuran RAB yang ada. kenapa sampai lebih?. 

Sang sekdes Menjawab “Karena semua proyek yang di garap sekarang ini agar bisa nyampek ke plosok perkampungan atau ke pemukiman masyarakat, sisanya jalan tanggung”ujar sekdes. Jadi H. Imam Mahdi memang tegas dalam mengawasi agar cepat di selesaikan sampai ke plosok kampung, hingga yang terjadi tak ada untung, yang ada malah rugi Alias tekkor “Tapi P. Lurah sangat puas, yang penting rakyatku makmur sentosa” tuturnya (*RAHASIA*)"

Bagaimana pendapat Anda?

Tamu Sepeda (2)

Bersepeda adalah kegiatan yang menyenangkan, juga menyehatkan asalkan tidak sambil menghirup polutan. Bersepeda juga merupakan cara bepergian yang ramah lingkungan. Bersepeda itu, intinya, adalah kegiatan yang menyenangkan.


Di kota-kota besar, sekarang, banyak orang yang bersepeda ke kantor. Umumnya, mereka bukanlah orang yang tidak punya duit untuk membeli sepeda motor atau mobil. Mereka melakukan itu lantaran mempunyai wawasan berbeda dari orang kebanyakan, seperti ingin mendapatkan hiburan, melihat pemandangan sekitar lebih detil, menyadari terbatasnya energi fosil, dll.


Tamu saya kali ini, Wing Sentot, adalah satu dari tidak banyak orang yang bersepeda dengan cara yang ekstrem. Saya tidak pernah kenal dia sebelumnya dan entah siapa yang merekomendasikannya untuk kemari. Ia berangkat dari Lombok entah kapan dan tiba di tempat saya, Guluk-Guluk (Sumenep) pada Kamis 12 Juni 2014. Bermalam semalam, ia berbagi kisah berbagai hal. Esoknya, Jumat pagi, ia pergi, berangkat lagi entah ke mana. Ia berkata punya rencana untuk ke Riau, Sumatra. Lelaki yang sudah pernah touring ASEAN bersepeda ini juga telah berpengalaman naik sepeda di hampir semua pulau besar di Indonesia, seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dll.

“Anda tahu Paimo?” tanya saya.
“Ya, dia itu keren sekali,” jawabnya sambil tertawa. Dia sudah keliling Eropa dan sebagian benua Amerika serta kota-kota besar di dunia.”
“Saya tidak kenal Paimo, tapi pernah baca buku perjalanannya, ‘Bersepeda Membelah Pegunungan Andes’, hadiah dari Bu Sekar yang juga pernah tiba di sini sebagai "tamu sepeda" bersama suaminya, Pak Tedi, dan juga rekannya, Mas Nanang dan istrinya, Bu Liza.".
“Iya, iya, iya…” katanya.

Dalam satu kesempatan duduk-duduk, ia bercerita kepada saya bahwa dalam perjalanannya ini ia membawa misi lingkungan. Ia melakukan pentas di tempat-tempat yang ia singgahi, kadang berpuisi, kadang pula menyanyi. Termasuk di sini, Sentot pentas baca puisi bersama para santri. Beberapa orang bertanya pada saya, apakah Sentot itu punya anak dan punya istri? Kepadanya saya menjawab, “Itulah pertanyaan yang memang sengaja tidak saya tanyakan.”



 Selamat jalan, kawan. Selamat bersepeda.





29 Mei 2014

Maburu Labhed (Lovebird)

Paman reya orengnga ekenning koca’ sogi, mangkana kan pas entar umroh. Paman andhi’ toko rajha e pasar, e seddi’na romana, sela jariya garus. Biyasana, bhu-obhuwanna oreng sogi reya mun ta’ motor, ya, mano’. Laaa…, Paman reya lebhur ka mano’ labhed (lovebird). Saellana mangkata ka umroh abareng binina ban mattowana, Paman menta ater ka Kacong se lebbi  pangalaman.

E BANDARA

Paman: “Ellu’ gallu, pae’ mun gun jeng-manjeng edinna’, Cong. Tadha’ barung kobhi (kopi) edinna’?”
Kacong: “Badha, Nom, keng larang.”
Paman: “La iyye rah. Tekka’a la larang, masa’ pas ta’ kellara majar?”
Kacong: “Enggi tore nyare. Beh, Bhibbi’ ma’ ta’ eyajak, Nom?”
Paman: “Enja’, sengka ca’na. Dhina bhibbi’na ma’ neng ban emma’na e lowar.”
Kacong: “Enggi tore pon.”

Kacong pas ngajak pamanna entar ka kafe se bagus. Gi’ ta’ toju’ kana, pas Paman ngoca’ laju atanya.

“Mun edinna’ olle aroko’, Cong?”
“Olle, Nom!”

Paman pas langsung nyolet rokok, pas ngoca’ pole:

“Sengko’ messenagi kopi luwak!”
“Tak anapa tekka’a larang?”
“La pah messen koh, ja’ nya’ bannya’ rembhak.”

Ella ra poko’na. Samarena pi-kopian ban ko’-roko’an, Paman pas ngajak mole.
Paman: “Tanya’ agi, Cong, abi’ barempa kowah!”

Kacong pas atanya abi’na. Kopi luwak du cangker gun ban roti pas temmo abi’ 350 ebu.

Kacong: “Tello’ saeket ca’na, Nom!”
Paman: “Apa? Tello’ saeket apa jiya?
Kacong: “Beh, enggi tello’ saeket ebu, Nom…”
Paman: “Adduana’… palang!”

Mare majar, Paman ban Kacong pas nyengla sambi ajalan na-ta’mana, Paman pas ngoca’ ka Kacong.


“Daggi’ ba’na se ngoca’ ka bhibbi’na, ya, Cong! Kabhala ja’ engko’ gi’ buru maburu labhed kowah, yeh!!”

---
Editor Bahasa Madura: Nurul Hidayat

SMS Tengah Malam

Tiap malam begini, Siti selalu terbangun mendengarakan tangis anaknya atau karena SMS dari sebuah nomor tidak dikenal. Anaknya yang kecil memang tidak selalu bangun tengah malah, tapi SMS gelap itu selalu datang tiap malam. Betul isi SMS memang mengajak bangun shalat malam atau petuah lain, kutipan hadits, dan seterusnya.

Sampai pada akhirnya, Monik terganggu dan langsung telepon balik, beberapa detik setelah ia menerima SMS serupa, suatu waktu di tengah malam. Panggilan tidak diterima. Ia penasaran, apakah pengirim SMS itu orang, mesin, atau hantu? Ia pun berkirim pesan, “Siapa pemilik nomor ini?”. Ditelepon tidak diangkat, di-SMS tidak dibalas.

Pada suatu pagi, kira-kira pukul 9, entah mengapa tiba-tiba Monik punya keinginan untuk menelepon nomor itu. Dan, ternyata, panggilan diterima.
“Ono opo, Mbak Monik?” Suara seorang perempuan muda.
“Loh, iki sopo?” tanya Monik.
“Aku, Yanti.”
“Oh, kirain siapa. Ini nomormu, tah?”
“Bukan, punya mas-ku. Kenapa, Mbak?”
“Oalah, iki lho, nomor ini selalu kirim SMS tengah malam. Pas ditelepon tidak diangkat, kalau di-SMS juga tidak membalas. Sekarang, mas-mu ke mana?”
“Ke kantor, Mbak. Iya, ini nomor mas-ku yang satunya. Mas-ku punya dua nomor.”

Sekarang Monik sudah tahu, siapa pemilik itu nomor itu. Hanya saja, Monik baru menduga-duga, mengapa pemilik nomor itu merahasiakan identitas dirinya. Maka, suatu saat ketika Monik berjumpa Yanti yang kebetulan berada di rumah ibunya, Monik menyampaikan cerita itu kepada mereka.

“Iya, Mon,” yang menjawab justru Tuminem, ibu Yanti. “Dulu HP-ku memang sering bunyi tengah malam. Aku terganggu sekali. Sampai berkali-kali akhirnya aku minta bantuan anakku untuk ngecek. Aku nanya sama si Yanti, apakah itu bunyi alarem atau apa,” papar Tuminem dengan polos karena dia memang gaptek. “Ealaaah, ternyata yang kirim SMS itu si Joko, toh, tetangga kamar dan menantu sendiri.”


Tuminem tertawa, Yanti tertawa karenanya, dan Monik tersenyum dibuatnya, mengerutkan jidat seraya berpikir bahwa perbuatan baik itu mestinya memang dirahasiakan, sepertinya halnya “kebaikan tangan kanan jangan sampai diketahui oleh tangan kiri”. Namun, yang kasus ini jelas berbeda dengan yang biasanya.

29 April 2014

Dilarang Membuang Klakson ke Sembarang Telinga



Di sebuah lajur, di kota kabupaten, terdapat beberapa deretan mobil diparkir paralel. Ada pula beberapa orang yang berjalan kaki di atas aspal karena trotoarnya tidak bisa lagi leluasa untuk digunakan karena ditempati pedagang kaki lima. Ketika itu, sebuah becak melaju. Posisinya pun jadi agak ke tengah karena mendahului para pejalan kaki yang juga agak ke tengah karena ada mobil-mobil yang parkir. Roda kanan becak itu bahkan melewati garis marka.

Beberapa puluh meter di belakang becak, ada sebuah mobil. Ketika sudah dekat, mobil mengerem sebab posisi becak masih di tengah. Lajur kanan di memang kosong tetapi mobil tidak bisa melaju karena ada becak di depannya dan terhalang separator. Mobil membunyikan klakson panjang. Tujuannya adalah agar becak segera minggir, padahal itu itu jelas tidak mungkin karena posisi becak juga sedang mendahului orang-orang yang sedang berjalan dan mobil yang diparkir.

Inilah contoh “membuang klakson ke sembarang telinga”. Memang cuma merenungkan penciptaan jagat raya saja yang harus mikir? Mencet klakson pun juga perlu berpikir, Bro!

Karena ketika kita membunyikan klakson itu merupakan pertanda bahwa kita sedang butuh perhatian dari orang lain, maka mari kita berpikir bahwa orang lain itu juga membutuhkan perhatian kita. Kurangi sifat arogan dengan cara tidak terlalu sering minta perhatian orang lain. Berikan sikap mengayomi dengan cara tidak terlalu sering minta perhatian, seperti ngebut di jalan sempit atau padat dan ramai sambil membunyikan klakson bertubi-tubi. Orang-orang itu jelas tidak suka jika disuruh mendengarkan bebunyian yang tidak merdu itu: bunyi klakson.

23 April 2014

Hubungan SMS dengan Homofon

“Coba kamu SMS, tanyakan di mana lokasinya?”
“Lah, tadi kan sudah jelas dalam telepon, dekat tambal ban Torbang.”
“Coba SMS saja, biar pasti, sebelah mananya masjid Torbang, gitu?”
“Wah, sudah jelas, kok, Kak. Ditelepon lagi saja agar lebih jelas dan pasti, daripada SMS masih harus balas-balasan.”

Demikianlah sedikit ngotot-ngototan saya dengan istri.

Tak lama kamudian, ada telepon masuk. Tapi, sungguh saya kaget karena dikabarkan bahwa saya telah kebablasan. Tempat yang disepakati sebagai tempat saya bertemu dengan seseorang itu ternyata sudah lewat.

Telepon dari seberang:
“Tadi, kawan saya itu melambai-lambaikan tangannya saat Sampeyan lewat di dekatnya. Namun, Sampeyan bablas saja katanaya.”
Saya membalas:
“Torbang, to? Ini, Lenteng saja masih belum. Tentu saja saya tidak memperhatikan dia karena Torbang masih jauh, masih sekitar 8 kilometer lagi.”

Saya menepikan kendaraan, menelepon lagi orang itu, saudara jauh yang hendak mempertemukan saya dengan temannya di sebuah tempat yang lokasinya adalah “pertigaan, jalan kecil, dekat tambal ban”. Ah, terasa repot menentukan sebuah lokasi dengan ancer-ancer yang sangat mungkin berubah di zaman orang-orang sudah mengetahui alamat dengan kordinat.

Setelah 3 menitan menunggu, si temannya saudara itu pun datang. Rupanya, dia menyusul dengan sepeda motor. Saya bertanya, “Kok bisa tadi bilang Torbang padahal Torbang itu adalah nama desa di dekat Kota Sumenep?”
Dia tersenyum sambil menjelaskan, bahwa “Torbang” yang dimaksud adalah nama spot tempat dia menunggu.
“Dulu,” katanya sambil tersenyum, “Di sana ada sebuah kantor bank daerah. Orang-orang menyebutnya TOR BANK, kependekan dari ‘kantor bank’, begitu…”

Saya tertawa dan senang karena di dalam pikiran langsung muncul gagasan untuk membuat tulisan dengan tema soal homonim, ya, tulisan yang Anda baca ini. Dan sekarang, jika paragraf-paragraf di atas itu dijadikan sebuah narasi dalam ujian, akan muncul sebuah pertanyaan: ‘apa saja pelajaran yang dapat dipetik dari kasus di atas?’.

a) Kebiasaan memangkas kata (menggunakan sebagian sukukata), seperti juga terjadi pada STNKB menjadi STNK dan menjadi STN
b) homofon bisa membuat salah alamat
c) Terkadang, SMS (tulisan) lebih jelas daripada telepon (lisan)
d) Memperkenalkan nama (tempat) yang tidak populer kepada orang yang tidak yakin mengetahinya adalah payah

09 April 2014

Bencana Kemanusiaan dalam Pemilu

Ungkapan “menerima serangan fajar”, “mana duitmu, ini suaraku”, atau “NPWP (nomor piro wani piro)” yang semua itu dimaksudkan sebagai guyonan atau lelucon satir menjelang pemilu begitu marak di jejaring sosial, bahkan ada pula yang dipasang di tempat umum. Bahwa suara dapat dibeli kini bukan lagi menjadi rahasia. Idealisme yang dulunya suci pun, kini, menjadi profan. Suara tak ubahnya sayur dan lauk-pauk di pasar tradisional yang bisa ditawar.

Ya, memang benar, semua ungkapan di atas (atau sejenisnya) hanyalah guyonan, sebuah kritik nan satir, hanya main-main. Itulah yang tersurat, namun yang tersirat tidaklah demikian. Redaksi frase/kalimat di atas yang mengandung unsur ‘tantangan namun main-main’ itu tampaknya bisa berubah menjadi sungguh-sungguh dalam situasi dan konteks yang juga berubah-ubah. Begitu seringnya teks itu muncul dan terbaca, sedikit banyak, tanpa disadari akan menciptakan persepsi dan pengaruh pada masyarakat yang melihat/membacanya. Apa bukti? Kini, masyarakat semakin permisif terhadap jual-beli suara, menyepelekan, dan bahkan tanpa merasa bersalah lagi jika menjual suara mereka untuk orang/wakil yang sebetulnya tidak mereka ketahui kapasitasnya, idealismenya, watak dan kepribadiannya, dan seterusnya.

Dibandingkan sekadar menerima uang untuk suara, sifat dan sikap permisif (dalam hal ini menganggap sogokan dan suap serta beli suara sebagai sesuai yang biasa) merupakan “salah di atas kesalahan”. Inilah musibah besar kemanusiaan. Harapan untuk untuk memperoleh wakil kita di parlemen selama 5 tahun ditukar dengan harga semangkok bakso atau setara dengan uang belanja dapur selama 1 hari. Sadis, bukan?

Berharap kepada seseorang yang akan menjadi wakil kita dalam menyampaikan ‘suara hati’ untuk kemakmuran dan keadilan itu haruslah ada, bahkan andaipun mereka akan berkhianat. Berharap agar mereka jujur atau bertobat setelah berdusta adalah obat pada saat tak punya harapan sama sekali adalah penyakitnya. Dan, pada saat kita memilihnya “hanya karena uang” dengan tanpa mempedulikan lagi siapa, visi-misi, serta kepribadiannya, maka itu artinya kita telah mengubur harapan ke dalam jurang putus asa yang dalam, jurang yang gelap dan tanpa penolong, kecuali kita sendiri yang sejak awal tak mau melakukannya.

25 Maret 2014

Persiapan untuk Khusyuk

Ada seorang deklamator yang butuh waktu kira-kira 30 menit ‘puasa bicara’ dan tidak melakukan aktivitas apa pun selain bersiap diri sebelum diberlangsungkannya pementasan. Ini menunjukkan bahwa dia ingin tampil prima, konsetrasi penuh, total, sehingga dengannya ia tidak akan membuat penonton kecewa. Bagi saya, dia itu seorang deklamator yang sangat serius, deklamator beneran. .

Itu ‘hanya’ urusan pentas baca puisi, lho. Nah, bagaimana dengan shalat? Tidak mudah untuk bisa konsentrasi penuh di dalam shalat (khusyuk) karena khusyuk itu adalah tidak ingat apa pun selian Allah. Jika seorang deklamator di atas memerlukan 30 menitan ‘prep’ (-aration) untuk tampil, kiranya kita juga perlu mempersiapkan diri untuk tampil ke dalam shalat. Soal berapa lamanya, itu bergantung kepada orang yang akan melakukannya.

Suatu saat, sebelum  naik ke mushalla untuk shalat ashar, saya menonton sebuah video lucu. Dalam video itu, tampak seorang petani yang bersin secara aneh sebanyak 3 x. Bukannya ingus yang muncrat, melainkan binatang; yang pertama kucing, yang kedua kambing, yang terakhir sapi. Apesnya, ketika itu saya juga sedang terkena flu. Puncaknya,  berdiri untuk rakaat ketiga (saat itu saya menjadi imam), saya mendadak bersin. Sialan, konsentrasi buyar seketika karena saya teringat video tersebut. Hampir saja saya berhenti shalat dan tertawa.

Dari situ, saya lantas teringat kebiasaan sang deklamator di atas. Ah, rupanya, dia itu benar dengan kebiasaannya. Sebaiknya, untuk melakukan sebuah aktivitas yang membutuhkan konsentrasi penuh dan kekhusyukan, kita memang perlu secara serius pula mempersiapkan diri, baik itu untuk membaca puisi dan terlebih mau shalat.

23 Maret 2014

Buang Air Besar (BAB) dari Masa ke Masa

Saat bertemu dengan Bapak Farid Mustofa, dosen Fak. Filsafat UGM yang baru pulang liburan dari studi pascasarjana-nya di Universitet Leipzig, entah sedang berbicara soal apa, tiba-tiba beliau bercerita, bahwa orang Jerman sangat heran saat melihat  anaknya bisa jongkok.

“Ah, hanya karena bisa jongkok? Apa susahnya?” balas saya.
“Loh, orang sana itu nggak bisa jongkok, lho!”

Percaya setengah percaya, akhirnya saya ingat, mungkin itulah sebabnya  mengapa jamban di sana  menganut kloset model duduk.

Tidak perlu jauh-jauh ke Eropa, di sekitar kita, saat ini, mudah dijumpai kloset duduk macam itu. Bedanya, kloset-kloset di ‘sana’ lebih sadis karena tidak ada bak air-nya. Boro-boro bak air dan gayung, yang ada hanya wastafel dan tisu gulung. Sementara di sini, terutama di rumah kawan saya yang tinggal di kota atau saat nginap di hotel, saya perhatikan, kloset duduk umumnya masih tetap menggunakan air untuk membersihkan berak (bersuci). Bedanya, meskipun kloset duduk sudah dapat juga dijumpai di desa-desa, air untuk bersucinya menggunakan bak yang memuat air 2 kulah, berbeda dengan kloset duduk di kota/hotel/bandara yang terkadang hanya menggunakan ember atau bak air  kecil. Bagi seorang muslim, terutama Madzhab Syafii, ketersediaan air (minimal 2 kulah) untuk bersuci itu adalah suatu hal yang niscaya.

Rupanya, buang air besar itu sangat beragam. Di masa kecil dulu, anak-anak biasanya buang air besar atau pipis dengan cara sembarangan, terkadang bahkan di halaman. Orangtua mudah membantu untuk melakukan hal itu karena anak-anak dulu tidak menggunakan popok. Cara ini jelas tidak sehat, terbukti bahwa tidak adanya jamban dalam sebuah keluarga dijadikan indikator kemiskinan, pengetahuan rendah terhadap sanitasi. Namun, yang buang popok setiap hari nyatanya juga sangat tidak sehat secara environmental karena ia tidak ramah lingkungan.

Jamban orang dulu, disebut juga kakus, sebelum adanya water closet (WC) hanya menggunakan lubang kecil di permukaan yang langsung ke lubang besar di dalam. Permukaannya hanya ditutup papan sebilah, atau sejenisnya. Soal bau, ya, jelas saja kakus model begitu mudah mengumbar.

Pada masyarakat tertentu, di pesisir misalnya, ada keluarga yang memang tidak memiliki jamban karena mereka buang air besar di tepi laut. Air pasanglah yang akan menghilangkan jejak berak mereka. Sementara penduduk di sekitar bantaran sungai memanfaatkan aliran  sebagai tempat buang air, baik dengan metode kakus 'terjun bebas' atau pula gaya ekstrem, yaitu  duduk di batu sungai dengan cara menenggelamkan separuh pantat ke dalam air. Menggunakan celana akan repot kalau seperti ini cara buang airnya. Menggunakan sarung tetap lebih mudah dan jadi pilihan utama.

Saat ini, kakus duduk mulai banyak digunakan orang, termasuk mereka yang tinggal di desa. Meskipun awalnya mereka tidak terbiasa karena—konon—duduk langsung ke kloset itu berasa geli dan dianggap jijik. Orang desa yang beruang biasanya punya dua model, yakni kloset duduk dan kloset jongkok. Kloset duduk, salah satunya, barangkali dipersiapkan untuk tamu kota atau tamu luar negeri yang tidak bisa berjongkok itu.

Akan tetapi, akhir-akhir ini ada sebuah penelitian yang menyatakan bahwa buang air dengan cara berjongkok merupakan cara terbaik dan paling sehat dalam proses bertandas. Entah benar entah tidak, penelitian ini harus dibantah secara ilmiah lebih dulu untuk tidak disetujui hingga nanti ditemukan   keputusan ilmiah yang lebih baru dalam hal perkakusan dan gaya buang air besar itu, baik soal gaya jongkok, gaya duduk, atau bahkan gaya lainnya.

Demikianlah perkembangan buang air besar dari masa ke masa.

24 Januari 2014

Kebaikan dalam Keberisikan

Dulu, saya pernah main ke kos teman di Semanggi II, Ciputat, belakang UIN Syarif Hidayatullah. Letak kamarnya bersebelahan dengan sebuah musholla. Sepintas, kawan satu ini mirip takmirnya, padahal dia anak kos biasa. Saya tanya harga sewanya. Angkanya saya sudah lupa, tapi yakin itu jauh lebih murah dibandingkan sewa kos teman saya yang lain dengan ukuran dan fasilitas yang sama. Secara berkelakar, teman saya itu bilang: “Ya, di sini murah karena dempet musholla yang setiap waktu adzannya sangat keras terdengar sampai ke dalam kamar.”

Meskipun hanya jawaban  kelakar, saya mencoba berpikir, ternyata, bagi orang yang menginginkan ketenangan benar-benar, suara adzan, dzikir, tartil, dan ‘suara-suara baik’ yang lain akan dapat dianggap ‘gangguan’, ingat, ya, kalau itu terlalu keras/lantang. Nah, beberapa waktu yang lalu, saya mendengar kabar dari saudara jauh. Bahwa pada akhirnya, mereka, dia dan orangtuanya, pindah rumah karena, salah satu alasan terpentingnya, tidak tahan pada keberisikan suara pengeras suara dari masjid yang ada persis sampingnya.

“Mengapa tidak mohon pengertian takmir masjid?”
“Sudah, namun takmir masjid rupanya tidak mau ditegur meskipun beberapa warga sudah berembuk, mendatangi, dan menyampaikannya.”

Saudara saya itu bercerita, bahwa di hari-hari tertentu, ada khataman Alquran, dzikir, qiraah, ceramah, bahkan terkadang musik-musik qosidah yang diputar dari pengeras suara masjid, sepanjang hari, dari pagi sampi sore. Dan catat: semua itu diputar dengan suara yang sangat keras/lantang. Inilah alasan yang akhirnya membuat mereka mengalah, pindah rumah.

Bukan hanya cerita di atas, masih banyak kisah sejenis, seperti yang saya alami baru-baru ini, yang berhubungan dengan keberisikan. Suatu waktu, saya datang ke rumah famili untuk acara peringatan maulid Nabi.  Akan tetapi, karena benar-benar tidak tahan pada keberisikan sound system yang konon sudah dibunyikan keras-keras selama 3 hari sebelum hari-H, dengan sangat kecewa akhirnya saya menyingkir, tidak jadi ikut acara inti. Jangankan mau rehat istirahat, mau ngomong dengan teman duduk saja saya harus dengan teriak-teriak. Begitulah  kondisinya.

Hari ini, kasus serupa terjadi lagi. Saya mendengar kabar dari famili, di tempat yang jauh dari rumah, bahwa ada seorang tetangganya yang hampir stres gara-gara polusi suara. Dia sedang merawat neneknya yang sakit. Dia pun, bersama tokoh setempat, mendatangi pemilik musholla dan berharap agar sedikit mengecilkan volume suara loudspeaker-nya. Eh, si empunya TOA cuek saja. Dia pun mengalah, menahan berisik namun dengan tetap menyimpan amarah.

Nah, begitulah, ternyata, suara-suara yang baik itu seringkali menjadi blunder, malah menjadi sebab menjauhnya seseorang dari kebaikan yang hendak dibawanya. Alasannya hanyalah karena kebaikan itu disampaikan dengan cara yang kurang tepat. Setidaknya demikian yang saya rasakan dan juga disampaikan oleh beberapa orang yang pernah mengalami nasib dan pengalaman serupa dengan saya. Jadi, jika kasusnya seperti salah satu bagian kisah di atas, menyewa sound system ribuan watt dan digunakan sampai ke taraf mengganggu saraf dan telinga, mengganggu kehidmatan yang lain, untuk apa gunanya?

06 Januari 2014

Termakan Provokasi

Dalam perjalanan ke Surabaya, kemarin (4 Januari 2014), saya terjebak macet di beberapa titik. Pelebaran dan perbaikan jalanlah penyebabnya. Penanggulangannya menggunakan sistem buka-tutup. Namun begitu, banyak juga—ternyata—yang tidak sabar ketika arusnya tersendat. Apa boleh buat, yang dilakukannya adalah menyerobot dan melawan arus.

Di sebuah ruas jalan, selepas Gunung Gigir (sebelah barat Blega, Bangkalan), terjadilah peristiwa ini: ketika itu arus lalu lintas tersendat-sendat. Antrian sudah mengular, panjang sekali. Saya lihat ada banyak orang di halaman rumahnya, duduk-duduk atau berdiri di pinggir jalan, menonton kemacetan ini. Ya, rupanya, kemacetan lalu lintas menjadi hiburan tersendiri bagi mereka.

Nah, pada saat mobil-mobil sudah tidak bergerak, tiba-tiba saya melihat sebuah mobil nyerobot, masuk lewat jalur kanan, muncul begitu saja dari belakang. Eh, malah ada seorang lelaki berkoar-koar, mirip seorang supporter.

“Ayo, Pak. Masuk, masuk, masuk!”

Lelaki yang berdiri persis di tepi jalan samping saya ini mengaba-aba dengan tangannya, mempersilakan mobil-mobil yang berjejer dalam antrian agar melanggar, yaitu dengan melawan arus, ambil kanan, mengikuti mobil yang tadi sudah buka jalur lebih dulu. Tak ayal lagi, seperti mendapatkan lisensi untuk melanggar, beberapa kendaraan pun menerobos masuk, menyalip mobil-mobil lainnya yang berbaris rapi di jalur kiri. Orang yang terburu-buru atau terbiasa menerobos pasti tergoda dengan tawaran ini.

Akan tetapi, apa yang terjadi? Begitu mobil-mobil para pelanggar itu sudah menerobos masuk, mungkin ada 7 atau 10 mobil, orang yang tadi berteriak itu mendadak tertawa terbahak-bahak. Dia lantas balik badan, menghadap ke muka, sambil beteriak tak kalah nyaringnya.

“Pak polisiii… pentungin itu orang-orang, biar kapok. Dasar!”

Rupanya, perbaikan jalan di lokasi itu dijaga oleh beberapa orang aparat yang membawa pentungan. Sepertinya, pelanggaran dan penerobosan seperti ini sering terjadi di sana dalam beberapa hari ini sehingga banyak petugas yang berjaga-jaga. Saya tidak tahu, ada berapa orang yang kena semprot atau terkena pentungan. Yang pasti, saya melihat seorang polisi sedang memegang pentungan; saya juga melihat beberapa mobil kelabakan dan berusaha masuk jalur kembali (ke kiri) namun dihalang-halangi oleh mobil lainnya. Lumayan, setelah agak lama merengut, akhirnya saya tersenyum melihat komedi jalan raya ini.

Demikianlah, orang-orang di sekitar kita memang suka melakukan tindakan yang berbeda pada saat berada dalam pengawasan dan di luar pengawasan. Siapa yang mendidik cara munafik seperti ini? Yang jelas, pendidikan di dalam keluarga tidak pernah mengajari seorang anak untuk berlaku begitu. Tindakan curang seperti ini jelas bersumber dari tindakan serupa yang telah dilakukan oleh pendahulu mereka, juga aturan yang plin-plan karena uang sogokan, juga dari ketidakjujuran hanya demi hawa nafsu yang sementara saja sifatnya.

Di bawah ini adalah foto-foto yang saya cuplik dari video kualitas rendah:

Minta jalan

mau nyerobot, masih ragu

menggunting

di kejauhan, di depan, tampak seorang polisi

Entri Populer

Shohibu-kormeddaL

Foto saya

Saya adalah, antara lain: 6310i, R520m, Colt T-120, Bismania, Fairouz, Wadi As Shofi, Van Halen, Puisi, Hard Rock dll

Pengikut

Label

666 (1) Abdul basith Abdus Shamad (1) adi putro (1) adsl (1) Agra Mas (1) air horn (1) akronim (1) Al-Husari (2) alih media (1) Alquran (1) amplop (1) Andes (1) Android (1) anekdot (3) aula asy-syarqawi (1) Bacrit (2) bahasa (5) baju baru (1) baju lebaran (1) Bambang Hertadi Mas (1) bani (1) banter (1) Basa Madura (1) basabasi (1) batuk (1) bau badan (1) bau ketiak (1) becak. setiakawan (1) belanja ke toko tetangga (1) benci (1) bis (3) bismania (2) BlackBerry (1) Blega (1) blogger (2) bodong (1) bohong (2) bolos (1) bonceng (1) bromhidrosis (1) Buang Air Besar (BAB) (1) buat mp3 (1) budaya (1) buku (2) buruk sangka (2) catatan ramadan (4) celoteh jalanan (1) ceramah (1) chatting (1) chemistry (1) cht (1) Cicada (1) Colt T 120 (1) corona virus (1) Covid 19 (1) cukai (1) curhat (5) defensive driving behavior development (1) dering (1) desibel (2) diary (1) durasi waktu (1) durno (1) ecrane (1) etiket (17) fashion (2) feri (1) fikih jalan raya (1) fikih lalu lintas (1) fiksi (2) filem (1) flu (1) gandol (1) gaya (1) ghasab (1) google (1) guru (2) guyon (1) hadrah (1) handphone (1) Hella (1) hemar air (1) Hiromi Sinya (1) humor (2) IAA (1) ibadah (2) identitas (1) ikhlas (1) indihome (1) inferior (1) jalan raya milik bersama (1) jamu (1) jembatan madura (1) jembatan suramadu (2) jenis pekerjaan (3) jiplak (2) jual beli suara (1) Jujur (3) Jujur Madura (1) jurnalisme (1) jurnalistik (3) KAI (1) kansabuh (1) Karamaian (1) karcis (1) Karina (1) Karma (1) Kartun (1) kebiasaan (5) kecelakaan (2) kehilangan (1) kenangan di pondok (1) Kendaraan (2) kereta api (1) keselamatan (1) khusyuk (1) kisah nyata (7) Kitahara (1) kites (1) klakson (1) klakson telolet (1) kode pos (2) kopdar (2) kopi (1) kormeddal (19) korupsi (2) KPK (1) kuliner (2) L2 Super (2) lainnya (2) laka lantas (1) lakalantas (1) lampu penerangan jalan (1) lampu sein (1) layang-layang (1) lingkungan hidup (3) main-main (1) makan (1) makanan (1) malam (1) mandor (1) Marco (1) masjid (1) Mazda (1) MC (1) menanam pohon (1) mengeluh (1) menulis (1) mikropon (1) mimesis (1) mirip Syahrini (1) mitos (1) modifikasi (1) money politic (1) Murattal (1) musik (1) nahas (1) napsu (1) narasumber (1) narsis (1) Natuna (1) ngaji (1) niat (1) Nokia (1) nostalgia (2) Orang Madura (1) Paimo (1) pandemi (1) pangapora (1) paragraf induktif (1) parfum (1) partelon (1) pasar (1) pekerjaan idaman (1) pemilu (1) peminta-minta (1) penata acara (1) pendidikan (1) pendidikan sebelum menikah (1) penerbit basabasi (1) pengecut (1) penonton (1) penyair (1) penyerobotan (1) Pepatri (1) perceraian (2) Perempuan Berkalung Sorban (1) perja (1) perjodohan (1) pernikahan (1) persahabatan (1) persiapan pernikahan (1) pertemanan (1) pidato (1) plagiasi (2) plastik (1) PLN (1) pola makan (1) poligami (1) polisi (1) politik (1) polusi (1) polusi suara (2) Pondok Pesantren Sidogiri (1) ponsel (2) popok (1) popok ramah lingkungan (1) popok sekali pakai (1) PP Nurul Jadid (1) preparation (1) profesional (1) PT Pos Indonesia (1) puasa (5) publikasi (1) puisi (2) pungli (1) Qiraah (1) rasa memiliki (1) rekaan (1) rempah (1) ringtone (1) rock (1) rokok (1) rokok durno (1) rumah sakit (1) Sakala (1) salah itung (2) salah kode (3) sanad (1) sandal (1) santri (1) sarwah (1) sastra (1) sekolah pranikah (1) senter (1) sepeda (3) sertifikasi guru (1) sertifikasi guru. warung kopi (1) shalat (1) shalat dhuha (1) silaturahmi (1) silaturrahmi (1) siyamang (1) SMS (1) sogok bodoh (1) sopir (1) soto (1) sound system (1) stereotip (1) stigma (1) stopwatch (1) sugesti (1) sulit dapat jodoh (1) Sumber Kencono (1) Sumenep (1) suramadu (1) syaikhona Kholil (1) syawalan (1) takhbib (1) taksa (1) tamu (2) Tartil (1) TDL (1) teater (1) teknologi (2) telkomnet@instan (1) tengka (1) tepat waktu (1) teror (3) tertib lalu lintas (28) The Number of The Beast (1) tiru-meniru (1) TOA (2) tolelot (1) Tom and Jerry (2) tradisi (1) tradisi Madura (4) transportasi (1) ustad (1) wabah (1) workshop (1) Yahoo (1) Yamaha L2 Super (1)

Arsip Blog